JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Abhan menyebut, setidaknya ada delapan potensi pelanggaran jika pilkada digelar di tengah pandemi Covid-19.
Potensi pertama ialah persoalan daftar pemilih yang kemungkinan tidak akurat jika verifikasi dilakukan secara daring.
Menurut Abhan, pengecekan daftar pemilih seharusnya dilakukan secara langsung atau door to door supaya lebih akurat. Namun, hal itu saat ini sulit dilakukan mengingat Covid-19 masih mewabah.
Baca juga: Gelar Pilkada Saat Pandemi, KPU Berencana Kurangi Kapasitas TPS Jadi 500 Pemilih
"Daftar pemilih memiliki potensi tidak akurat atau kurang akurat. Namun, jika daring tidak dapat dilakukan tetap dilakukan secara manual," kata Abhan melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Kamis (4/6/2020).
Potensi pelanggaran kedua yaitu soal logistik pemilih. Abhan mempertanyakan kesiapan perusahaan penyedia logistik pemilihan sebab waktu pemilihan sudah dekat.
"Penyediaan logistik pemilih ini waktunya mepet. Seandainya anggaran sudah siap, tetapi apakah perusahaan percetakan sudah siap? Bahan bakunya sudah siap atau tenaga kerjanya sudah siap? Terlebih jika wilayah itu masih melakukan PSBB," ujarnya.
Baca juga: Komisi II dan Pemerintah Sepakat Tambah Anggaran untuk Pilkada 2020
Potensi pelanggaran ketiga, lanjut Abhan, terkait regulasi, prosedur dan tata cara pemilihan khususnya pada saat pemungutan dan penghitungan suara.
Keempat, soal verifikasi administrasi dan verifikasi faktual yang kurang maksimal. Terutama dalam verifikasi dukungan calon perseorangan, apakah cukup melalui daring atau tidak.
Abhan menyebut, ada persoalan jika nanti KPU menyatakan dukungan tidak memenuhi syarat, sementara calon perseorangan tersebut menganggap syaratnya terpenuhi. Hal ini akan berakibat pada laporan sengketa pilkada ke Bawaslu.
Baca juga: Politik Uang Jelang Pilkada Dinilai Semakin Rawan Saat Pandemi Covid-19
Kelima, merebaknya politik uang, terlebih kondisi ekonomi di tengah pandemi yang saat ini sedang tidak baik.
"Potensi merebaknya politik uang tidak bisa kita pungkiri di saat kondisi ekonomi yang terpuruk akibat Covid-19, pelanggaran vote buying atau politik uang berpotensi besar terjadi," tutur Abhan.
Selain itu, kesehatan dan keamanan penyelenggara dan masyarakat juga menjadi persoalan. Sebab, tahapan pilkada berpotensi menyebabkan penyebaran virus.
Persoalan lain ialah terkait sarana dan prasarana kampanye. Abhan mempertanyakan apakah dalam situasi seperti ini kampanye seluruhnya akan menggunakan sistem daring.
Baca juga: Ombudsman Ingatkan Pemerintah soal Aturan Khusus Pelaksanaan Pilkada di Tengah Pandemi
Abhan menyebut, kampanye daring akan menguntungkan petahana. Sebaliknya, calon kepala daerah non-petahana akan kesulitan karena belum terlalu dikenal.
"Jika melihat secara objektif kalau kampanye menggunakan daring petahana itu yang yang lebih diuntungkan karena mereka sudah dikenal. Sementara, kandidat baru atau pendatang baru yang belum dikenal masih harus melakukan sosialisasi konvensional," ucapnya.