Kita semua tentu setuju mengenai optimisme ini. Karena pengalaman dan sejarah menunjukkan bahwa segala badai pasti berlalu.
Pertanyaan saya yang muncul kemudian adalah, sebelum harapan itu muncul, apakah masyarakat kita sudah cukup sadar akan bahaya Covid-19?
Harapan biasanya ada setelah kerisauan hadir. Namun, sehari-hari kita menyaksikan banyak orang seolah tidak peduli ataupun takut pada Covid-19.
Kita melihat orang berkerumun, belanja baju lebaran, bahkan pergi ke luar rumah tanpa masker. Dari sini tantangan kita terbesar adalah menumbuhkan kesadaran (awareness).
Tanpa kesadaran potensi bahaya, kedisiplinan masyarakat sulit terbentuk. Tanpa kesadaran itu upaya pemerintah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga protokol new normal menjadi tidak berarti dalam menghalau Covid-19.
Mungkin saat ini yang lebih diperlukan adalah "imaji mengancam" seperti masifnya proses penguburan korban jiwa dan membludaknya rumah sakit.
Namun, barangkali benar argumen Susan Sontag dalam dalam Regarding the Pain of Others (2004) bahwa budaya melihat telah menetralisasi kekuatan moral fotografi atas kekejaman.
Maksudnya adalah kengerian yang dipertontonkan terus-menerus membuat masyarakat menjadi kebal.
Direktur Museum Seni Toledo Brian Kennedy pernah mengutip penelitian bahwa kecepatan membaca visual 60.000 kali lebih cepat dibanding membaca teks. Visual terbukti menjadi alat efektif untuk menyampaikan pesan.
Secara psikologis manusia telah terbiasa berpikir secara visual. Misalnya ketika kita mendengar kata "gedung" maka gambar-gambar beton melintas di dalam kepala kita.
Sebelum Facebook memperkenalkan wall post, manusia prasejarah di goa pedesaan Maros di Sulawesi Selatan telah menggambar pesan dinding, usianya 39.900 tahun—lebih tua dari temuan lukisan zaman es di Eropa.
Visual menaungi banyak medium gambar, dan fotografi termasuk di dalamnya. Fotografi sendiri ditengarai masuk ke Tanah Air (kala itu masih bernama Hindia Belanda) pada tahun 1841 oleh Juriaan Munich, seorang utusan kementerian kolonial lewat jalan laut di Batavia.
Dalam budaya visual yang didukung internet kita dibanjiri limpahan foto. Namun, tidak semua foto tersebut berisi kebenaran. Saat itulah literasi visual dibutuhkan.
Literasi visual atau melek visual adalah kesatuan kompetensi untuk membaca, memahami, dan menciptakan gambar.
Melek visual semakin perlu saat masyarakat bukan lagi seeing is believing, melainkan percaya dulu baru memilih apa yang mereka lihat.