JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif SETARA Institute Ismail Hanani meminta pemerintah bersikap atas tindakan persekusi dan intimidasi terhadap warga yang kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Sebab, selama ini pemerintah terkesan membiarkan peristiwa intimidasi terjadi, tanpa ada tindakan tegas.
"Jika tidak mengambil langkah solutif dan pelembagaan penghapusan praktik pelanggaran kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat, pemerintah bisa dianggap menikmati seluruh tindakan persekusi dan sikap koersif warga atas berbagai peristiwa," kata Ismail dalam keterangan tertulis, Selasa (2/6/2020).
Baca juga: Tercorengnya Wajah Demokrasi di Indonesia...
Hal ini disampaikan Ismail menanggapi intimidasi terhadap kegiatan diskusi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM).
Ismail menilai intimidasi tersebut merupakan bentuk persekusi atas kebebasan akademik dan kebebasan berpendapat, yang dijamin oleh konstitusi.
Namun, Ismail mencatat tindakan persekusi atas kebebasan berpendapat ini bukanlah yang pertama terjadi di masa pemerintahan Jokowi sejak 2014 silam.
Indeks HAM yang dirilis SETARA Institute (2019) menunjukkan bahwa skor untuk kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat selama pemerintahan Jokowi (2014-2019) hanya 1,9 dengan skala 1-7.
Baca juga: Anggota Komisi III: Kasus Teror Diskusi UGM Memalukan dan Memilukan
Rendahnya skor untuk kebebasan berekspresi dan berpendapat ini didukung oleh data pelanggaran yang serius, seperti 204 peristiwa kriminalisasi individu, pemblokiran 32 media online, 961.456 pemblokiran situs internet dan akun media sosial.
Kemudian, tujuh pembubaran diskusi, pelarangan buku, dan penggunaan delik makar yang tidak akuntabel untuk menjerat sekurang-kurangnya tujuh warga negara.
Pemerintah, sebagaimana dikemukakan Menko Polhukam Mahfud MD, tidak berada di balik teror tersebut. Namun, Ismail menilai pemerintah jelas diuntungkan dengan berbagai aksi teror itu.
"Benefit politik atas praktik pembungkaman resistensi terhadap pemerintah adalah pemerintah," ujar dia.
Untuk membuktikan bahwa pemerintah tak menikmati pembungkaman suara kritis warga ini, SETARA Institute pun mendesak penegak hukum menindak tegas oknum yang melakukan intimidasi, ancaman, teror, serta provokasi yang mengakibatkan pembatalan diskusi ilmiah tersebut.
Ismail menegaskan, negara tidak dapat melakukan pembiaran di tengah situasi yang menunjukkan adanya pelanggaran kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
"Sikap proaktif negara diperlukan untuk menunjukkan bahwa elemen negara atau organ lain yang disponsori negara tidak berada di balik peristiwa persekusi akademik di UGM," kata Ismail.
Baca juga: Komisi III Minta Polri Serius dan Transparan Usut Teror terhadap Diskusi di UGM
Sebelumnya diberitakan, penyelenggara dan narasumber diskusi akademis yang rencana digelar oleh Constitutional Law Society (CLS) atau Komunitas Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM mendapat teror dari orang tak dikenal.
Teror yang datang tak hanya berupa ancaman pembunuhan melalui pesan yang dikirim melalui ponsel, melainkan rumah mereka juga sempat disatroni oleh sejumlah orang tak dikenal.
Kegiatan diskusi akademis tersebut sedianya akan digelar secara daring pada Jumat (29/5/2020) pukul 14.00 WIB.
Baca juga: Diteror karena Jadi Pembicara Diskusi CLS UGM, Guru Besar UII Yogya Lapor Polisi
Dalam diskusi tersebut penyelenggara juga akan menghadirkan Ni'matul Huda, Guru Besar Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Adapun tema yang diangkat adalah "Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan".
Namun karena adanya aksi teror itu, akhirnya kegiatan diskusi terpaksa dibatalkan.
Dekan Fakultas Hukum UGM Sigit Riyanto membenarkan adanya aksi teror yang dialami mahasiswanya dan juga pihak terkait dalam kegiatan diskusi tersebut.
Bahkan, aksi teror tersebut sudah sudah mulai terjadi sejak Kamis (28/5/2020).
Baca juga: Mahfud Minta Polri Usut Pelaku Teror terhadap Panitia Diskusi CLS UGM
"Teror yang dialami mulai dari pengiriman pemesanan ojek online ke kediaman. Teks ancaman pembunuhan, telepon, sampai adanya beberapa orang yang mendatangi kediaman mereka," ungkapnya dalam keterangan tertulis.
Tidak hanya itu, teror tersebut juga menyasar terhadap keluarga mereka melalui pesan yang dikirim ke ponsel menggunakan nomor tak dikenal.
Menyikapi kasus tersebut, pihaknya secara tegas mengecam pelaku teror dan meminta polisi untuk segera mengusutnya.
Untuk mengantisipasi hal yang tak diinginkan, sementara ini pihaknya telah mengevakuasi mahasiswanya yang menjadi korban teror tersebut di tempat aman.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.