PANDEMI virus corona membuat penduduk bumi terpojok: memasuki kehidupan normal baru (new normal).
Tiada cara lain setelah miliaran manusia tak berdaya, ratusan negara kelimpungan, ratusan rezim penguasa tak berkutik, partai politik membisu, ormas tak bersuara.
Negara-negara seperti Amerika Serikat yang biasanya amat powerful tiba-tiba menjadi powerless menghadapi virus yang super mikro itu.
Guna membendung transmisi virus semua negara mengunci diri (lockdown) setidaknya dalam tiga bulan terakhir ini, hingga di tingkat wilayah kota.
Bahkan pembatasan sosial (social distancing) dan jaga jarak (physical distancing) dilakukan sampai pada skala kecil di tingkat rumah tinggal.
Baca juga: Menyiapkan Normal Baru Pembelajaran yang Berpihak pada Siswa Kita
Kampanye tetap di rumah saja (stay at home) dan bekerja dari rumah (work from home) adalah cara untuk menghentikan penularan virus. Dunia seperti berhenti berputar, sunyi, dan muram.
Dampak tercepat pandemi ini adalah ambruknya sektor ekonomi yang kehabisan darah. Pukulan paling telak adalah begitu banyak perusahaan terkulai dan akhirnya merumahkan karyawan untuk sementara atau pun permanen, bahkan gulung tikar.
Di AS, misalnya, semua sektor tak ada yang imun dari dampak pandemi corona, entah transportasi, keuangan, hotel-properti, retail, manufaktur, hiburan, kesehatan, makanan, teknologi, seni dan kebudayaan, hingga pemerintahan. (Forbes, 6 Mei 2020)
Dampak runtuhnya sektor ekonomi adalah tsunami pengangguran. Secara global diperkirakan 200 juta pekerja akan kehilangan pekerjaan (BBC, 7 April 2020).
Di Indonesia, pada akhir April, Kementerian Tenaga Kerja mengeluarkan angka 2,8 juta orang terkena PHK, tetapi Kadin (Kamar Dagang dan Industri) memprediksi lebih banyak lagi antara 15 juta hingga 40 juta, karena termasuk sektor UMKM (CNN Indonesia, 1 Mei 2020).
Menurut organisasi buruh International Labour Organization (ILO), krisis sekarang ini adalah krisis terparah di sektor tenaga kerja sejak Perang Dunia II. Ini adalah bencana kemanusiaan lanjutan dari bencana penyakit.
Berita buruknya akhir krisis pandemi corona ini tiada yang dapat memprediksi. Kabar baiknya bahwa siasat isolasi memberikan fakta dapat memutus mata rantai penularan virus antarmanusia.
Namun, tidak mungkin terus mengurung diri karena ancaman bahaya lain di depan mata, terutama dampak ekonomi-sosial.
Baca juga: Jokowi: Kita Ingin Masuk ke Normal Baru dengan Kedisiplinan Lebih Kuat
Maka, selama vaksin corona belum ditemukan, kehidupan normal baru bukan saja untuk dapat bertahan tetapi juga berpeluang membangun terobosan baru.
Artinya aktivitas pasca “pembatasan sosial”, dengan mengikuti pedoman protokol kesehatan penanganan pandemi corona. Itulah new normal alias normal baru di era pandemi.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.