JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah tokoh yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil mendesak DPR RI untuk meminta pemerintah memperbaiki rancangan peraturan presiden (R-Perpres) tentang Tugas TNI Menangani Aksi Terorisme.
Sebab, rancangan Perpres yang telah diserahkan ke DPR tersebut dinilai terlalu jauh melibatkan tugas dan kewenangan TNI.
"Kami mendesak kepada parlemen agar meminta pemerintah untuk memperbaiki draf peraturan presiden itu secara lebih baik dan lebih benar karena secara substansi memiliki banyak permasalahan," kata perwakilan koalisi yang juga Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Feri Kusuma kepada Kompas.com, Rabu (27/5/2020).
Feri mengatakan, pengaturan kewenangan penangkalan terorisme oleh TNI yang dimuat Pasal 3 rancangan Perpres sangat luas.
Baca juga: Penerjunan TNI-Polri Justru akan Tingkatkan Kedisiplinan Masyarakat Melawan Covid-19
Terkait hal ini, koalisi berpandangan bahwa akan terjadi gangguan pada mekanisme criminal justice system atau sistem peradilan pidana yang merupakan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan.
Hal ini akan berdampak pada terancamnya hak asasi manusia (HAM) dan kehidupan berdemokrasi.
Selain itu, kewenangan TNI yang berlebihan juga dinilai berpotensi membuka ruang dan collateral damage yang tinggi serta cenderung represif.
"Dengan pasal ini, TNI dapat terlibat dalam penanganan tindak pidana terorisme secara lebih leluasa di dalam negeri, sehingga berpotensi membahayakan kehidupan HAM di Indonesia," ujar Feri.
Baca juga: Rancangan Perpres TNI Berantas Terorisme Dianggap Tak Sesuai Mandat UU, DPR Diminta Menolak
Menurut koalisi, pemberian kewenangan yang luas pada TNI tanpa dibarengi dengan kejelasan mekanisme untuk tunduk dalam sistem peradilan umum sangat membahayakan hak-hak warga.
Sebab, jika terdapat kesalahan operasi di lapangan yang mengakibatkan hak-hak warga negara terlanggar, mekanisme pertanggungjawabannya menjadi tidak jelas karena militer tunduk dalam yurisdiksi peradilan militer, bukan yurisdiksi peradilan umum.
Dengan alasan kejahatan terorisme, militer yang bukan bagian dari aparat penegak hukum pun dapat melakukan fungsi penangkalan dan penindakan terorisme secara mandiri.
Baca juga: KontraS: Pelibatan Koopssus TNI Tangani Terorisme Perlu Diawasi
Hal ini justru berakibat pada tumpang tindihnya kewenangan antara TNI dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
"Hal ini justru akan membuat penanganan terorisme menjadi tidak efektif karena terjadi overlapping fungsi dan tugas antar kelembagaan negara," ujar Feri.
Koalisi juga menulai bahwa rancangan Perpres ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Pada UU TNI, pelibatan militer dalam operasi militer selain perang yang salah satunya mengatasi tindak pidana terorisme dapat dilakukan jika sudah ada keputusan politik negara.
Baca juga: Siapkan TNI Tangani Terorisme, Pemerintah Diminta Tinjau Ulang Reformasi Peradilan Militer
Keputusan politik negara itu sendiri adalah keputusan presiden yang dikonsultasikan bersama dengan DPR.
Sementara di dalam rancangan Perpres, pengerahan TNI dalam mengatasi tindak pidana terorisme dapat dilakukan hanya melalui keputusan presiden tanpa ada pertimbangan DPR yang disyaratkan oleh UU TNI.
Atas pertimbangan-pertimbangan ini, Koalisi Masyarakat Sipil tidak hanya mendorong DPR untuk meminta pemerintah memperbaiki rancangan Perppres, tetapi juga mengingatkan Presiden Jokowi agar berhati-hati dalam membuat peraturan presiden tentang pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme.
"Karena jika hal itu tidak dibuat dengan benar maka peraturan presiden itu justru akan menjadi cek kosong bagi militer dalam mengatasi terorisme di Indonesia dan akan memundurkan jalannya reformasi TNI itu sendiri serta kehidupan demokrasi di Indonesia," kata Feri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.