JAKARTA, KOMPAS.com - Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mendesak pemerintah segera membenahi skema tata kelola penempatan Anak Buah Kapal ( ABK) Warga Negara Indonesia ( WNI) pada kapal perikanan asing.
Hal itu menyusul dengan maraknya praktik perbudakan yang dialami ABK WNI di atas kapal di luar negeri.
"Ini harus segera dibenahi dengan baik soal tata kelola penempatan, pengawasan dan lain-lain karena bentuk-bentuk perbudakan modern di atas kapal banyak," ujar Ketua SBMI Hariyanto Suwarno kepada Kompas.com, Rabu (27/5/2020).
Hariyanto menegaskan, perbudakan yang dialami ABK WNI sudah berlangsung sejak lama.
Mulai dari pemulangan ABK WNI di Cape Town, Afrika Selatan pada 2013 hingga ABK WNI di Arab Saudi pada 2018.
Menurut dia, perbudakan tersebut tak lepas dari adanya celah pada aspek tata kelola penempatan, aspek pengawasan, dan aspek penindakan.
Hariyanto melihat aspek tata kelola penempatan sudah karut-marut sejak 2013 karena adanya tumpang-tindih kewenangan.
Dia mengungkapkan, tumpang-tindih kewenangan sebetulnya belum terjadi sebelum periode 2013. Hanya saja, kementerian yang dimandatkan tak kunjung mengatur ihwal tata kelola penempatan ABK perikanan.
"Contoh ada PP Tahun 2000 itu ada dua pasal yang memandatkan kementerian ketenagakerjaan untuk membuat perjanjian kerja lautnya dan tata kelola dan sebagainya. Itu mandat PP Tahun 2000, itu tidak dikerjakan oleh Kemenaker," kata dia.
Baca juga: Kematian ABK di Kapal China, Kasus Nyata Perbudakan Modern di Laut
Di sisi lain, Hariyanto memandang permasalahan perbudakan ABK WNI bermuara dari peliknya pada skema perekrutan.
Pada perekrutan tersebut, umumnya perekrut hanya berorientasikan pada bisnis semata sehingga, banyak ABK WNI yang pada dasarnya tidak memiliki latar-belakang sebagai pelaut justru terekrut.
Menurut dia, perekrut berorientasi bisnis cukup mengkhawatirkan karena tidak memiliki keselamatan ABK WNI itu sendiri ketika sudah masuk dalam dunia kerja.
"Informasi saat ini didominasi oleh perekrut yang orietanasinya bisnis, merekrut sembarangan," ungkap dia.
Selain itu, Hariyanto mencurigai pemerintah seperti melakukan pembiaran terhadap karut-marutnya perekrutan ABK WNI tersebut.
Baca juga: Perbudakan ABK, Ini Cara Susi Pudjiastuti Tangani Kasus Benjina
Hal itu didasari dengan amburadulnya data hingga dokumentasi ABK WNI.
"Mulai dari pendokumentasian perjanjian dan sebagainya itu amburadul semua. Itu sudah berjalan bertahun-tahun, saya katakan ini sengaja ada pembiaran," ujar Hariyanto.
Sejauh ini, Polri telah menetapkan lima tersangka dalam kasus perbudakan ABK WNI yang berujung pelarungan luar negeri.
Pertama, tiga tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) ABK Indonesia di Kapal Long Xing 629.
Ketiga tersangka tersebut meliputi seorang berinisial WG dari PT APJ.
Baca juga: Perbudakan ABK, Ini Langkah yang Diambil KKP
Selain WG, polisi juga telah menetapkan dua orang tersangka lainnya, yaitu JK dari PT SMG dan KMF dari PT LPB.
Ketiga tersangka dijerat dengan Pasal Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Ancaman hukumannya minimal tiga tahun dan maksimal 15 tahun penjara.
Kedua, dua tersangka dalam kasus tewasnya ABK) Indonesia yang jenazahnya dilarung ke perairan Somalia.
Dua orang itu adalah S (45) Komisaris PT Mandiri Tunggal Bahari dan MH (54) Direktur PT Mandiri Tunggal Bahari.
Baca juga: ABK WNI Dinilai Rentan Jadi Korban Perbudakan
Perusahaan tersebut merupakan agen pemberangkatan ABK untuk bekerja di kapal asing Lu Qing Yuan Yu 623 dan kapal Fu Yuan Yu 1218.
Kedua tersangka dijerat pasal 85 dan 86 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Tenaga Migran, dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara.
Mereka juga terancam dijerat pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan ancaman hukuman tiga tahun penjara.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan