JAKARTA, KOMPAS.com - Gerakan reformasi 1998 di Indonesia tidak dapat lepas dari peran mahasiswa.
Kala itu, tak sedikit mahasiwa turun ke jalan untuk melawan rezim Presiden Soeharto yang dianggap diktator.
Mahasiswa dari universitas negeri ternama, hingga kampus-kampus swasta lainnya tak gentar bergerak melengserkan Soeharto yang telah memimpin Indonesia selama 32 tahun.
Namun perjuangan mahasiwa mengumpulkan massa untuk turun ke jalan saat itu rupanya bukan perkara mudah.
Mantan Ketua Senat Mahasiwa (SM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) sekaligus mantan Aktivis 1998 Pande K Trimayuni menceritakan bagaimana sulitnya mengumpulkan massa untuk bergerak melawan rezim.
Baca juga: Detik-detik Mahasiswa Kuasai Gedung Parlemen Tuntut Reformasi...
Kala itu, mahasiswa UI yang peduli dan siap bergerak hanya berasal dari organisasi non-formal.
"Zaman dulu ada kebijakan mahasiwa enggak boleh berpolitik praktis. Jadi apa yang bisa dilakukan mahasiwa saat itu melalui menghimpun diri dalam kelompok studi itu," kata Pande dalam diskusi online, Jumat (22/5/2020).
Pande mencoba memahami mengapa organisasi mahasiswa formal saat itu tidak berani banyak bergerak.
Mungkin, karena kondisi Indonesia tengah kacau dan banyaknya aparat yang bersifat represif membuat sebagian mahasiwa takut untuk turun ke jalan.
Selain mahasiswa, dukungan dari dosen dan universitas juga sulit didapatkan.
Baca juga: Riuh Rendah Mahasiswa di Gedung DPR/MPR Jelang Mundurnya Soeharto...
Pande beserta rekan-rekannya pun pernah mencoba menghadap Dekan FISIP UI untuk meminta dukungan, namun belum mendapatkan hasil yang memuaskan.
"Mereka bilang bahwa ini apa, ini kalian ini anak muda new level apa yang kalian mau kan. Itu jauh sebelum 98 jadi gerakan yang besar," ujar dia.
Pande melihat, muncul pesimisme dari organisasi non-formal maupun dari pihak kampus.
Namun, ketika gerakan 1998 semakin membesar, konsolidasi mahasiswa UI pun semakin menguat dan dilakukan pada tingkat senat antar Fakultas.
Hingga akhirnya dibentuk perhimpunan Keluarga Besar Universitas Indonesia (KB-UI).
KB-UI, kata dia, awalnya hanya didukung oleh FISIP, Fakultas Ekonomi, Fakultas Sastra dan Fakultas Teknik.
Baca juga: Permintaan BJ Habibie Tak Lama Setelah Soeharto Tak Menjabat Lagi...
Organisasi itu pun awalnya tidak bisa menarik perhatian mahasiwa untuk bergabung.
Bahkan, lanjut Pande, kala itu tak sedikit pula mahasiswa yang mengecam keberadaan KB-UI.
Tetapi ia beserta rekannya tak tinggal diam. Pande mencari acara agar KB-UI bisa berhasil menarik perhatian mahasiwa.
Salah satunya dengan menggelar berbagai macam diskusi dan acara kebudayaan.
"Organisasi non-formal enggak takut di DO (drop out) itu semangat yang saya hargai," ujar dia.
Baca juga: Saat Parlemen Minta Soeharto Mundur...
Pada akhirnya, KB UI berhasil mengumpulkan massa dan mulai melakukan demonstrasi awal di lingkungan kampus pada Februari 1998.
Sebagai tindakan permulaan sebelum ikut aksi demonstrasi di jalan menurunkan rezim Soeharto bersama mahasiwa dari berbagai universitas. Berjuang bersama-sama untuk membawa reformasi ke Indonesia.
Namun, lanjut Pande, kondisi mahasiswa saat ini sudah berbeda dari masa sebelum reformasi.
Menurut dia, mahasiswa sekarang lebih suka mencari index prestasi belajar yang tinggi dibandingkan memperjuangkan kepentingan rakyat seperti mahasiwa terdahulu.
Baca juga: Di Ujung Tanduk, Saat Soeharto Merasa Kapok Jadi Presiden...
Padahal setiap masa pemerintahan memiliki permasalahannya masing-masing.
"Jangan dikira hanya dulu saja mahasiswa menghadapi persoalan ke masyarakatan. Sekarang juga pesoalan kemasyarakatan juga banyak sekali," tutur dia.
Pande mengatakan, banyak sekali isu krusial yang bisa terus diperjuangkan mahasiwa saat ini.
Mulai dari memperjuangkan pekerja yang kehilangan pekerjaan, ekonomi yang belum merata hingga hak-hak kaum buruh.
"Tapi bagaimana kita juga demokrasi ekonomi bahwa kesejahteraan rakyat memang benar-benar diperjuangkan," imbuh dia.
Baca juga: Adik Mahasiswa yang Hilang Misterius di Garut Cari Abangnya Lewat Tik Tok dan Twitter
Oleh karena itu, Pande menilai sudah seharusnya mahasiswa saat ini didorong melihat sisi lain bahwa mahasiwa tidak hanya bertugaa untuk belajar.
Tetapi juga memperjuangkan hak-hak masyarakat. Memperjuangkan hak rakyat, tambahnya juga bisa berdampak baik bagi kehidupan profesional.
"Percayalah bahwa itu enggak akan pernah sia-sia. Bahkan untuk kehidupan profesional kita sendiri," ungkap Pande.
"Saya refleksikan pada diri saya. Apa yang saya lakukan pada saat mahasiwa itu itu benar-benar membantu bagaimana cara berpikir saya, cara bersikap saya pada saat ini," ucap dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.