JAKARTA, KOMPAS.com - Suatu hari di awal Mei, Didi (35), bukan nama sebenarnya, diminta datang ke kantor. Dia diberitahu atasannya, hari itu, ada rapat.
Setelah rapat kelar, Didi jadi was-was. Dia langsung ingat keluarga di rumah.
Itu karena di ruangan rapat, bos tempatnya bekerja mengumumkan kebijakan yang bikin hati Didi tak enak.
"Gaji saya dipotong, sampai 40 persen. Dampak pandemi," kata Didi bercerita kepada Kompas.com, akhir pekan lalu.
Baca juga: Asal Mula Kata Lebaran: Berakar dari Bahasa Betawi dan Jawa
Tak cuma gaji, tunjangan yang biasa didapat setiap bulan pun tak ada lagi. Beruntung, THR masih dibagikan.
Didi sedih. Apalagi, Lebaran sebentar lagi. Dia terbayang raut muka sang istri yang pastinya juga bakal getir.
"Tak tahu bulan depan gajian atau enggak," lanjutnya.
Didi bekerja di perusahaan wedding organizer atau vendor penyelenggara pernikahan sebagai event manager.
Menurut sarjana komunikasi ini, ada delapan rencana resepsi pernikahan yang ditunda karena pandemi. Penundaan membuat pemasukan perusahaan jadi tak menentu.
Padahal, dalam kondisi normal, perusahaan tempatnya bekerja sangat sehat dan bisa menghidupi banyak karyawan.
Dalam perjalanan pulang, Didi bertekad harus mencari pemasukan lain buat keluarga.
Lalu setelah bicara bersama istri, dia memutuskan untuk berjualan makanan secara online.
"Sampai hari ini pemasukannya belum menyamai gaji normal saya," kata Didi.
Baca juga: 275 Pengendara Tercatat Langgar PSBB pada Hari Lebaran
"Tapi alhamdulillah, untuk makan sehari-hari bisa dari jualan itu," lanjutnya.
Dengan kondisi saat ini, bapak tiga anak ini mengaku masih bingung dari mana dia bisa mendapatkan uang untuk membayar tagihan.
Belum lagi, dia harus membayar biaya sekolah anaknya yang sulung dan kedua yang duduk di bangku sekolah dasar (SD).
"Bayaran sekolah anak juga agak berat, bulan ini belum bayar. Yang bikin saya tak paham, mengapa bayaran sekolah harus full, padahal anak-anak belajar di rumah," ujar Didi.
Pada Hari Lebaran, Didi dan istri berupaya menutupi kegundahannya di depan anak-anak.
"Mereka tak perlu tahu," ujarnya.
Bagi Didi, Lebaran tahun ini bakal diingatnya seumur hidup. Itu karena banyak kabar pahit yang dia terima.
Selain gaji yang dipotong, tahun ini juga Lebaran pertama tanpa ayah. Sang ayah meninggal beberapa bulan lalu.
Tahun ini, Didi juga tak bagi-bagi THR untuk keponakan. Selain itu, jatah baju baru anak juga berkurang. Semuanya akibat kondisi yang tak pasti. Didi memilih untuk menyimpan uangnya.
Namun, di balik segala kesedihan itu, Didi masih bersyukur.
"Kami sekeluarga sehat," ujarnya.
Baca juga: Cerita Tenaga Medis Lebaran di Rumah Sakit, Bukan dengan Keluarga...
Warga Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, ini pun masih bisa bertemu ibundanya karena jarak tempat tinggal yang relatif dekat.
"Begitulah, apapun yang terjadi Lebaran memang bikin kita bahagia, meski tak se-happy kalau kondisi normal. Yang paling penting syukuri apapun kondisinya," kata dia.
Dia berharap Idul Fitri tahun depan, dunia sudah kembali normal. Agar umat Islam bisa menikmati Lebaran seperti tahun-tahun sebelumnya.
Kesedihan berbeda dialami Miranti Kemala (34). Bagi perempuan yang kerap disapa Mira ini, Lebaran kali ini adalah yang pertama kalinya dia tak mudik ke kampung halaman di Bandung.
Alasan utamanya, Mira khawatir membawa virus corona dan menulari orangtua.
"Ya sisanya, ingin memutus rantai penyebaran," kata perempuan yang bekerja sebagai konsultan itu saat berbincang dengan Kompas.com, Senin (25/5/2020).
Mira bercerita, selama ini dia banyak berkegiatan di wilayah yang sudah terpapar Covid-19 di Jakarta.
Karena itu, Mira selalu menganggap bisa jadi dirinya adalah pembawa virus.
Baca juga: Perayaan Lebaran Jokowi dari Tahun ke Tahun...
"Apalagi di akhir Februari dan awal Maret (tanggal 2 Maret Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus positif Covid-19 pertama di Indonesia), saya banyak meeting ke mana-mana," kata dia.
Dan selama diberlakukan bekerja dari rumah atau work from home (WFH), Mira pun masih harus ke kantor sesekali.
"Makanya saya menganggap diri saya carrier dan tak pulang ke Bandung for protecting people I care most," ujarnya.
Mira selama ini sendirian tinggal di apartemen. Tak bisa mudik karena pandemi membuatnya sedih.
"Baru berasa sepi menjelang Lebaran ini," ujar dia.
Biasanya, lanjut dia, setiap Lebaran semua keluarga berkumpul di Bandung dan memasak bersama di malam Takbiran.
Kesedihannya memuncak di Hari Lebaran. Tahun ini, tak ada sungkeman yang sudah jadi tradisi keluarganya.
Untuk menghibur diri, Mira berlebaran di rumah sepupunya di Bintaro, Tangerang Selatan. Kebetulan saudaranya itu juga memutuskan tak pulang ke Bandung.
Dia pun hanya menghubungi orang tuanya lewat panggilan video. Sungkeman dilakukan secara virtual.
Menurut Mira, kondisi ini harus dihadapi, mau tak mau. Mira berusaha untuk berdamai dengan hati dan situasi.
Baginya, Lebaran tetap Lebaran, harus disyukuri sebagai hari kemenangan, apapun kondisinya.
"Sedih berlarut malah justru menambah keterpurukan dan penyakit," tukasnya.
Mira pun tak mau membayangkan apa yang terjadi pada Lebaran tahun depan. Dia cuma berharap Indonesia dan dunia bisa menghadapi pandemi dan mengalahkannya.
"Kita lewatin pandemi ini dulu aja bareng-bareng. Enggak bisa ngomongin tahun depan kalau virus ini masih terus tersebar," ujarnya.
Baca juga: Sejarah Tradisi Membagikan Uang di Hari Lebaran
Didi dan Mira adalah dua dari banyak umat Muslim di dunia yang harus merayakan Lebaran tak seperti biasa. Namun, mereka tetap bahagia, tetap merayakan Lebaran dengan gembira.
Seperti kata lagu Idul Fitri ciptaan Ismail Marzuki,
"Setelah berpuasa satu bulan lamanya
Berzakat fitrah menurut perintah agama
Kini kita ber-Idul Fitri berbahagia
Mari kita berlebaran bersuka gembira...."