JAKARTA, KOMPAS.com - Psikolog keluarga Alissa Wahid mengatakan, salah satu faktor yang melatarbelakangi perkawinan anak adalah pandangan sebuah keluarga terhadap anak perempuan.
Hal tersebut, kata dia, merupakan faktor utama untuk melihat cara pandang masyarakat yang melanggengkan perkawinan anak.
"Perkawinan anak banyak faktor yang melatarbelakangi. Riset saya, untuk melihat mengapa cara pandang masyarakat bagaimana kok bisa melanggengkan perkawinan anak, ternyata faktor utama pandangan terhadap anak perempuan," kata Alissa dalam diskusi, Rabu (20/5/2020).
Baca juga: KPAI: Dominasi Finansial dan Relasi Kuasa Jadi Penyebab Perkawinan Anak
Menurut Alissa, sesuatu yang mendorong kultur masyarakat bahkan keluarga dan agama untuk mendukung perkawinan anak, adalah perempuan tidak perlu sekolah tinggi dan cukup menjadi istri.
Putri dari Presiden ketiga RI Abdurrahman Wahid ini mengatakan, di desa atau kota kecil, keluarga yang memiliki anak laki-laki dan perempuan, biasanya "mengorbankan" anak perempuan dengan menikahinya saat berusia muda.
Sedangkan, anak laki-laki akan diminta mencari kerja.
Hal itu pula, kata dia, membuat anak laki-laki memiliki pendidikan yang lebih tinggi karena disiapkan untuk bekerja.
"Orangtua menganggap kalau anak perempuan tidak segera dikawinkan, maka citra keluarga menjadi jelek," kata dia.
Baca juga: Kemen PPPA: Angka Perkawinan Anak Pengaruhi Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia
Padahal, kata dia, kecakapan hidup untuk membangun keluarga tidak bisa dilakukan secara mendadak atau dikarbit.
Setidaknya, kata dia, ada empat area untuk dijadikan kesiapan seseorang membangun keluarga.
Keempat area tersebut adalah kesadaran diri, sosial diri, manajemen diri, dan manajemen hubungan.
"Ini sangat penting apakah anak usia 16-17 tahun mampu tidak mengenali dirinya, potensinya, aspirasinya? Apakah anak laki-laki umur 17 tahun mampu empati kebutuhan pasangannya? Mampu tidak melihat dirinya dan pasangannya?" kata dia.
Baca juga: Angka Perkawinan Anak Turun di 2018, tetapi Masih di Atas 11 Persen
Jika hal tersebut belum siap, kata dia, maka jangan sampai ada pikiran romantis bahwa menikah hanya cukup dengan cinta.
Sebab, perkawinan membangun gerbang untuk memulai kehidupan berkeluarga dan berkehidupan berkeluarga butuh kematangan pasangan.
"Kematangan tak bisa dikarbit. Hanya orang matang dan mandiri (yang menikah), kalau tidak punya itu semua berarti belum siap menikah," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.