Kekerasan oknum aparat yang menjadi tragedi kembali terulang pada 12 Mei 1998 di Jakarta.
Tindakan aparat yang represif dengan mengeluarkan tembakan dan kekerasan menyebabkan empat orang mahasiswa Universitas Trisakti tewas dan 681 lainnya luka saat berdemonstrasi di depan kampus mereka.
Setelah Tragedi Trisakti, pada 13-15 Mei 1998 kerusuhan bernuansa rasial terjadi yang seolah mengalihkan perhatian mahasiswa dalam menuntut mundurnya Soeharto.
Baca juga: Memori Kelam Iwan di Kerusuhan Mei 1998, Dikeroyok hingga Dibakar Hidup-hidup
Dilansir dari buku Mahasiswa dalam Pusaran Reformasi 1998, Kisah yang Tak Terungkap (2016), berbagai elemen aksi mahasiswa kemudian menyatukan gerakan.
Mereka yang bergerak antara lain dua kelompok mahasiswa Universitas Indonesia, yaitu Senat Mahasiswa UI dan Keluarga Besar UI.
Pada 18 Mei 1998, mereka memutuskan bergerak menuju DPR untuk bergabung dengan kelompok mahasiswa lain yang sejak pagi mengepung gedung DPR/MPR. Kelompok itu antara lain Forum Kota, PMII, HMI, dan KAMMI.
Baca juga: Detik-detik Mahasiswa Kuasai Gedung Parlemen Tuntut Reformasi...
Soeharto pada 19 Mei 1998 itu belum resmi mundur, tetapi ketika pertemuan dengan para tokoh berlangsung, ia mengaku enggan dicalonkan lagi bahkan kapok menjadi Presiden.
Hal tersebut ditegaskan Direktur Yayasan Paramadina Nurchloish Madjid yang mengikuti pertemuan tersebut.
"Pak Harto akan tidak mau dicalonkan lagi. Bahkan Pak Harto sempat guyon: saya ini kapok jadi Presiden. Itu sampai tiga kali, saya bilang kalau orang Jombang itu bukan kapok, tapi tuwuk (kekenyangan)," ujar Nurcholis.
Baca juga: 21 Tahun Lalu, Soeharto Persingkat Kunjungan ke Mesir...
Nucholis mengatakan, keputusan Presiden Soeharto untuk membentuk Komite Reformasi, Kabinet Reformasi, dan melaksanakan pemilu segera merupakan langkah terbaik yang bisa dilakukan saat ini.
Bahkan, Presiden Soeharto disebutkannya bersedia didikte kata demi kata. Misalnya, untuk pelaksanaan pemilu yang harus secepat-cepatnya.
Presiden Soeharto mengatakan, kedudukannya sebagai presiden bukanlah hal yang mutlak.
Dengan demikian, ia pun tak mempermasalahkan apabila harus mundur sebagai presiden.
Baca juga: 11 Maret 1998, Saat Soeharto Dilantik Jadi Presiden untuk Kali Ketujuh