"Kemudian Forkot datang dengan membawa ribuan massa. Kami negosiasi dengan aparat yang menjaga, minta delegasi ditambah. Begitu gerbang dibuka sedikit, langsung ditarik oleh teman-teman dari kanan dan kiri. Akhirnya ribuan orang masuk," tutur Savic.
Pada 18 Mei 1998, sebenarnya tidak hanya mahasiswa yang bergerak ke gedung DPR/MPR.
Sejumlah tokoh yang tergabung dalam Gerakan Reformasi Nasional juga mendatangi kompleks parlemen.
Dilansir dari arsip Harian Kompas, tokoh yang datang antara lain Subroto, YB Mangunwijaya, Ali Sadikin, Solichin GP, Rendra dan Sri Edi Swasono.
Baca juga: Sehari Sebelum Soeharto Mundur, Dinamika Ring 1, dan Kegelisahan Kabinet
Tidak hanya itu, para tokoh itu bahkan sempat berorasi di dalam gedung DPR.
Salah satunya adalah Dimyati Hartono, yang menuntut reformasi bidang politik, ekonomi, dan hukum; serta tuntutan mundurnya Soeharto-Habibie.
Di tengah audiensi, perwakilan FKSMJ masuk. Mereka memanfaatkan audiensi itu untuk menuntut dilaksanakannya Sidang Istimewa MPR.
Selain perwakilan UI dan FKSMJ, gedung DPR/MPR saat itu sebenarnya juga sudah didatangi perwakilan Institut Pertanian Bogor yang dipimpin Rektor IPB Soleh Salahuddin.
Mereka menemui Fraksi Karya Pembangunan (Golkar) dan Fraksi Persatuan Pembangunan. Tuntutannya pun sama, reformasi di segala bidang.
Dalam waktu yang bersamaan, Ketua PP Muhammadiyah Amien Rais juga sedang mengadakan pertemuan dengan Komisi II DPR.
Baca juga: Cerita di Balik Mundurnya Soeharto
Dalam pertemuan, Amien Rais menyatakan bahwa Sultan Hamengkubuwono X siap memimpin long march pada 20 Mei 1998 di Yogyakarta untuk menuntut digelarnya Sidang Umum Istimewa MPR dengan agenda penggantian kepemimpinan nasional.
Semakin besarnya tuntutan di gedung DPR/MPR pada hari itu, membuat Soeharto dan Orde Baru semakin terdesak.
Sekitar 15.20 WIB, mahasiswa dan aktivis yang ada di dalam gedung DPR/MPR pun mendapat kejutan besar.
Saat itu, pimpinan DPR/MPR yang diwakili Harmoko membuat konferensi pers menyikapi tuntutan reformasi.
Baca juga: Kisah Fahri Hamzah tentang Gerakan Reformasi dan Mundurnya Soeharto
Bagai petir di siang bolong, saat itu pimpinan DPR/MPR yang diwakili Harmoko meminta Soeharto untuk mundur.
"Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua, mengharapkan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri," kata Harmoko, dikutip dari arsip Kompas yang terbit 19 Mei 1998.