HAMPIR 90 persen negara di dunia terkena Covid-19. Angka ini berdasarkan laporan CSSE John Hopkins University dan organisasi kesehatan dunia—WHO, yang mencatat data terkonfirmasi wabah virus tersebut dari seluruh dunia.
Angka tersebut bisa saja naik atau turun dengan berjalannya waktu sejak virus ini ditemukan pertama kali di China pada Desember 2019.
Negara yang terkena virus ini kewalahan dalam menghadapi penyebaran virus ini. Karena, ini adalah jenis virus baru.
Praktis, vaksinnya juga belum ditemukan apalagi diproduksi massal. Tingkat penyebarannya pun sangat cepat. Ditambah lagi, ada laporan bahwa virus ini terus bermutasi menjadi varian-varian baru.
Bisa ditebak, negara dibuat sempoyongan gegara kepintaran si Covid-19. Tak terkecuali negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Italia, dan Spanyol.
Beragam jurus digunakan untuk menjinakkan dan mengalahkan si Covid-19 dalam perang wabah ini. Ada negara yang memilih cara lockdown, ada juga yang tidak menggunakannya, dan ada pula yang mengadopsi keduanya secara bersamaan.
Covid-19 memberikan tantangan kepada Negara dalam menelurkan kebijakan. Apakah kebijakan yang dikeluarkan dapat menjinakkan atau malah membiarkan si Covid-19 menguras energi emosi dan tenaga sebuah negara.
Belakangan, paradigma kebijakan itu berada dua kutub perdebatan, yaitu kutub pro life dan pro economy.
Tulisan ini tidak akan membahas secara detail persoalan di atas, tetapi akan condong mengulas lahirnya gerakan filantropi di masa pandemi Covid-19.
Gerakan ini makin menjamur di saat Negara dipusingkan oleh dua kutub tersebut. Gerakan ini bak oase, menyiram rasa gersang karena geram terhadap kebijakan Negara yang terkesan setengah hati dalam menangani pandemi Covid-19.
Gotong royong adalah bekerja sama—tolong menolong, bantu-membantu—merujuk kamus besar bahasa Indonesia (KBBI).
Popularitas istilah gotong royong tak lepas dari upaya yang dilakukan pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia. Itu dimulai dari Presiden Soekarno dan Soeharto, hingga rezim saat ini yang mempromosikan istilah tersebut.
Menjelang kemerdekaan Republik Indonesia, Soekarno memosisikan gotong royong sebagai asas sentral negara-bangsa Indonesia sebagaimana dia katakana,” Pancasila, jikalau saya peras maka dapatlah saya perkataan Indonesia yang tulen, yaitu gotong royong. Negara gotong royong. Alangkah hebatnya. Negara gotong royong." (Gunardi Endro, 2016: 1)
Terkait Covid-19, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui pemerintah tidak dapat bekerja sendirian menangani pandemi ini.
Peran serta seluruh lapisan masyarakat sangat penting dan diperlukan. Gotong royong dapat menjadi kunci dalam menghadapi Covid-19.
Jokowi mendapati sebuah cerita mengenai seorang warga yang terkena gejala Covid-19 di suatu lingkungan. Tetangga di lingkungan tersebut tidak mengucilkan si penderita dan justru membantunya dengan memasok sembako.
Karena itu, menurut Jokowi, gotong royong harus terus digaungkan. Itu dia sampaikan di Istana Bogor, Sabtu (18/4/2020).
Pesan yang disampaikan Jokowi itu kira-kira demikian, Negara membutuhkan atau mengharapkan bantuan dari warga negara dalam bentuk apa pun untuk menghadapi pandemi Covid-19.
Bantuan itu boleh dalam bentuk uang dengan memberikan sembako—seperti pada cerita di atas—, memberikan masker, pembasuh tangan (hand sanitizer), pengadaan alat pelindung diri (APD) atau baju hazmat, waktu, pengalaman, atau lainnya.
Agar lebih mudah dicerna masyarakat maka Presiden Jokowi menggunakan kata gotong royong.
Pilihan kata itu dianggap lebih familiar di telinga kita. Ketimbang menggunakan kalimat “Pemerintah mengharapkan partisipasi masyarakat dalam pandemi ini" atau “Pemerintah beharap ada gerakan filantropi untuk merespons wabah Covid-19”.
Definisi singkat filantropi ialah seseorang yang mendonasikan uang, pengalaman, waktu, dan atau keahlihan tertentu untuk menolong sesama manusia untuk menciptakan dunia yang lebih baik.