JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus anak buah kapal (ABK) Indonesia di Kapal Long Xing 629 menarik perhatian publik beberapa hari belakangan.
Para ABK Indonesia di kapal tersebut harus bekerja selama 18 jam per hari hingga mengonsumsi makanan yang tidak layak.
Bahkan, ada empat WNI kru kapal tersebut meninggal dunia. Tiga jenazahnya dilarung ke laut dan satu ABK meninggal di rumah sakit di Busan, Korea Selatan.
Di dalam negeri sendiri, kasus tersebut sedang diinvestigasi oleh Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri.
Tak dipungkiri, kasus tersebut memantik pembahasan lebih jauh mengenai penempatan ABK Indonesia di kapal asing.
Baca juga: Kemenlu Ungkap Kendala Lindungi ABK di Luar Negeri, Salah Satunya Tak Punya Data Akurat
Bahkan, Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Ramdhani menilai, kasus itu menjadi momen untuk bebenah.
“Momentum untuk memperbaiki tata kelola penempatan dan pelindungan ABK awak kapal perikanan, khususnya yang bekerja di laut lepas,” kata Benny melalui diskusi daring, Kamis (14/5/2020).
Sejumlah masalah terkait penempatan ABK di kapal asing pun terkuak.
Tak punya data
Benny mengakui pihaknya tidak memiliki data terpadu.
“Jujur harus kita akui hingga hari ini BP2MI sendiri tidak memiliki single data,” ucap Benny.
Dalam pandangannya, tidak ada basis data yang terintegrasi menjadi salah satu masalah krusial menyangkut para ABK.
Hal itu pun menghambat penanganan para ABK yang membutuhkan bantuan.
Menurut dia, belum ada basis data terkait manning agency, ABK yang ditempatkan, perusahaan agensi di luar negeri, serta pengguna jasa.
Benny yang baru menjabat selama satu bulan itu pun mengaku langsung memerintahkan jajarannya untuk mengatasi masalah tersebut.