KOMPAS.com – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani membacakan Kerangka Ekonomi Makro (KEM) dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 kepada anggota DPR RI.
“KEM dan PPKF ini akan digunakan sebagai bahan pembicaraan pendahuluan dalam penyusunan RAPBN 2021,” ujarnya dalam Rapat Paripurna ke-15 Masa Persidangan III Tahun Sidang 2019-2020 di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (12/5/2020).
Menkeu menyebut, penyusunan RAPBN ini disusun dengan mengacu kepada arah pembangunan dan tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, sebagaimana ditetapkan melalui Perpres No. 18 Tahun 2020, Senin (20/1/2020).
“Namun dengan terjadinya pandemi global Covid-19, sejak awal tahun 2020, menyebabkan tumbuhnya penyesuaian fundamental dalam pengelolaan perekonomian nasional yang berdampak pada keuangan negara,” terangnya.
Baca juga: Ini Agenda Rapat Paripurna ke-15 DPR RI Masa Persidangan III Tahun 2019-2020
Dia pun menyebut, penyusunan KEM-PPKF 2021 di masa Covid-19 mencerminkan sebagai ketidakpastian tinggi atas sebaran Covid-19 secara global.
“Apalagi, sampai saat ini masih belum dapat dipastikan kapan dan bagaimana Covid-19 akan dapat diatasi,” ungkapnya.
Sri Mulyani menjelaskan, salah satu indikator nyata dampak Covid-19 terhadap ekonomi terlihat proyeksi pertumbuhan ekonomi global oleh IMF.
Sebelumnya pada awal 2020 IMF optimistis proyeksi pertumbuhan ekonomi global akan tumbuh pada 3,3 persen.
Namun, April 2020 proyeksi dikoreksi secara tajam menjadi -3,0 persen akibat dampak virus corona.
Ini artinya, ekonomi dunia mengalami kontraksi sebesar 6 persen dan potensi output yang hilang dari perekonomian global setara dengan satu perekonomian di negara seperti Jepang.
Baca juga: Ini Indikator Ekonomi Makro Indonesia di RAPBN 2021
“Pada Kuartal I 2020, berbagai negara telah mengalami pertumbuhan negatif. Tiongkok mengalami kontraksi minus 6,8 persen, Perancis minus 5,4 persen, Singapura 2,2 persen, dan Indonesia meskipun masih tumbuh positif pada level 2,97 persen, namun ini merupakan koreksi yang cukup tajam,” jelasnya.
Dia pun menyebut, dampak dari resesi global ini mengakibatkan banyaknya masyarakat yang tidak bisa bekerja dan terancam kehilangan sumber pendapatannya.
“Jika tidak segera diatasi kondisi ini dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan negara,” tegasnya.
Menyikapi ketidakpastian tingkat tinggi ini, Sri Mulyani pun tetap mengimbau kepada seluruh pihak untuk tidak patah semangat dan kehilangan orientasi.
Baca juga: APBN Defisit Rp 853 Triliun, Banggar DPR Minta Pemerintah Tambal Defisit dengan Utang
Menurutnya, krisis Covid-19 harus dapat dimanfaatkan untuk melakukan reformasi di berbagai bidang, seperti pemulihan di bidang kesehatan, sosial, dan ekonomi. Pemulihan ini harus dimulai dengan bersama-sama menangani pandemi.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.