Menurut Johansyah, konsep ini akan mendorong eksploitasi tambang besar-besaran baik di darat maupun laut.
Ia mengatakan wilayah hukum pertambangan bertentangan dengan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
"Adanya definisi Wilayah Hukum Pertambangan yang akan mendorong eksploitasi tambang besar-besaran, bukan hanya di kawasan daratan, tetapi juga lautan yang bertentangan UU Pesisir dan Pulau-pulau Kecil," ucapnya.
Karena itu, ia menilai hampir keseluruhan RUU Minerba hanya mengakomodasi kepentingan pelaku industri batuara.
Johansyah mengatakan revisi UU tidak menyinggung tentang dampak industri pertambangan dan kepentingan rakyat di daerah tambang, masyarakat adat, dan perempuan.
"Penambahan, penghapusan dan pengubahan pasal hanya berkaitan dengan kewenangan dan pengusahaan perizinan, namun tidak secuil pun mengakomodasi kepentingan dari dampak industri pertambangan dan kepentingan rakyat di daerah tambang, masyarakat adat dan perempuan," ujarnya.
Baca juga: Mayoritas Anggota Komisi VII DPR Setuju Pembahasan RUU Minerba Dilanjutkan
Menurutnya, pembahasan RUU Minerba tidak berdasarkan evaluasi atas daya rusak operasi pertambangan minerba yang selama ini terjadi.
Johansyah pun meminta Presiden Joko Widodo dan DPR membatalkan rencana pengesahan RUU Minerba.
"Atas nama undang-undang dasar yang menjamin keselamatan rakyat, Presiden Joko Widodo dan DPR RI harus membatalkan rencana pengesahan RUU Minerba di pembicaraan tingkat dua. DPR dan emerintah harus fokus menyelamatkan rakyat di tengah wabah virus corona yang mematikan," kata Johansyah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.