Masih dalam Pasal 87 c, disebutkan juga bahwa apabila hakim MK pada saat jabatannya berakhir telah berusia 60 tahun, maka meneruskan jabatannya sampai usia 70 tahun.
Sementara untuk yang tidak mencapai, dapat ikut seleksi kembali jika usianya sudah mencapai 60 tahun.
"Perubahan ini disinyalir menjadi cara untuk 'menukar guling' supaya MK dapat menolak sejumlah pengujian konstitusionalitas yang krusial, seperti Revisi UU KPK dan Perppu Penanganan Covid-19," ujar Violla.
Baca juga: Revisi UU MK Diajukan Ketua Baleg DPR sebagai Pengusul Tunggal
Sebelumnya, rencana DPR merevisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menuai kritik karena dinilai tidak mengatur hal-hal substansial dalam memperbaiki institusi MK.
Sebaliknya, draf revisi UU MK itu dinilai lebih banyak mengatur komposisi hakim MK, termasuk soal masa jabatan hingga usia minimum hakim MK.
"Apa kaitannya dengan masa jabatan yang kemudian dipanjangkan, problem di MK itu bayangan saya berkaitan dengan pengambilan keputusan, saya enggak tahu seberapa berkualitas sekarang putusan," kata pakar hukum tata negara UGM, Zainal Arifin Mochtar dalam sebuah diskusi, Senin (14/4/2020).
Menurut Zainal, putusan MK yang berbeda kualitasnya antara suatu putusan dengan putusan yang lain mestinya menjadi prioritas ketimbang ketentuan soal masa jabatan.
Baca juga: Revisi UU MK, Aturan Usia Minimal Hakim Konstitusi Dipersoalkan
Ia juga menyoroti kentalnya politisasi di MK yang membuat putusan dapat disetir tanpa kejelasan.
"Ada putusan yang kelihatan serius dalam mengelola konsep putusannya, ada putusan yang seakan-akan asal jadi," kata Zainal.
"Itu problem menurut saya, lagi-lagi apa hubungannya dengan masa jabatan?" ujar dia.
Pasal 22 UU MK mengatur masa jabatan hakim konstitusi berlaku selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
Baca juga: Perppu Covid-19 Digugat, MK Minta Penggugat Bandingkan dengan Negara Lain