JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan sejumlah catatan terkait omnibus law RUU Cipta Kerja, khususnya pada bagian energi dan sumber daya mineral (ESDM).
Peneliti ICW Egi Primayogha menilai, substansi RUU Cipta Kerja justru akan berdampak merugikan bagi lingkungan hidup dan menguntungkan para pebisnis atau sektor privat yang menguasai sumber daya alam.
"Produk hukum omnibus law akan merugikan kepentingan publik dan menguntungkan kepentingan privat. Terindikasi sebagai bentuk korupsi kebijakan publik dan pembajakan negara oleh kepentingan bisnis (state capture)," kata Egi dalam siaran pers, Selasa (5/5/2020).
Baca juga: Polemik RUU Cipta Kerja: Nasib Pekerja di Tangan Penguasa dan Pengusaha
Egi menuturkan, setidaknya ada lima masalah dalam RUU Cipta Kerja terkait ESDM.
Pertama, penerimaan negara dari sektor tersebut berpotensi hilang.
Alasannya, RUU Cipta Kerja menghapus kewajiban royalti yang wajib dibayarkan pengusaha kepada negara setelah mengeruk sumber daya mineral dan batubara.
Pengusaha yang berinisiatif mengolah batubara menjadi dimethyl ether (DME) atau gasifikasi batubara, akan mendapat insentif penghapusan kewajiban membayar royalti.
Padahal, pada 2018 penerimaan Sumber Daya Alam (SDA) mencapai Rp 180 triliun, di mana 17 persen berasal dari pendapatan dari pertambangan mineral dan batubara.
"Secara khusus PNBP dari royalti batu bara pada 2018 mencapai Rp 21,854 triliun. Jika royalti dihapuskan, maka triliunan rupiah berpotensi lenyap. Penerimaan negara hilang, pebisnis diuntungkan," ujar Egi.
Baca juga: Ini 5 Alasan RUU Cipta Kerja Digugat ke PTUN
Kemudian, masalah kedua, kesempatan negara mengelola sumber daya secara mandiri dapat hilang.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan