JAKARTA, KOMPAS.com - Beberapa tahun silam, tepatnya tahun 2017, seorang anak di bawah umur berinisial RES masuk dalam radar polisi karena diduga terpapar radikalisme. RES terdeteksi saat baru naik ke jenjang sekolah tingkat atas.
Polri dan institusi terkait lainnya melakukan pendekatan dan merencanakan program deradikalisasi.
Salah satu yang terjun langsung membina RES adalah Kombes Mokhamad Ngajib yang kini menjabat sebagai Direktur Samapta Polda Metro Jaya.
Ngajib, yang kala itu menduduki posisi sebagai kapolres di sebuah daerah di Jawa Barat menceritakan, anak tersebut terpapar paham radikal melalui media sosial.
Baca juga: Selama 7 Bulan, Polisi Ini Akhirnya Berhasil Deradikalisasi Anak Pengikut ISIS
Menurutnya, RES beralih ke media sosial karena ingin mencari sosok panutan dalam hidupnya.
“Dia pada saat mencari sosok tauladan, kalau ibunya rajin sholat, bapak (angkat)-nya ini yang tidak rajin ibadah. Akhirnya si anak ini keluar. Bermainlah di media sosial,” kata Ngajib kepada Kompas.com pada akhir pekan.
Melalui media sosial, RES terpapar paham radikal dari Bahrun Naim.
Bahrun Naim merupakan pimpinan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) asal Indonesia. Pada tahun 2014, Bahrun pergi ke Suriah dan bergabung dengan ISIS.
Baca juga: Dilema WNI Eks-ISIS: Dipulangkan atau Pulang Diam-diam?
Bahrun merupakan tokoh kunci di balik berdirinya sejumlah organisasi teror yang berafiliasi dengan ISIS, antara lain Mujahidin Indonesia Timur dan Barat (MIT/MIB), serta Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Tak hanya terpapar ideologi radikal dan bergabung dalam jaringan kelompok teroris di daerah tersebut, RES juga memiliki kemampuan taktis.
Ngajib menuturkan, RES mampu merakit senjata jenis AK-46 dan membuat enam bom asap.
Setelah tes psikologi menyatakan RES dipastikan terpapar radikalisme, aparat penegak hukum melakukan pendekatan melalui tiga tahap.
Baca juga: KPAI Khawatir Anak Teroris Lintas Batas Benci Pemerintah Indonesia
Ngajib menambahkan, program tersebut awalnya tak diketahui oleh sang anak.
“Dari situ (tes psikologi), kita program dengan pendekatan agama, dengan memasukkan ulama karismatik di sana. Akhirnya dengan pertama, kita masih silent, anak ini tidak tahu-menahu kalau sedang diprogram,” ujarnya.
Namun, orangtua RES mendukung dan membantu pelaksanaan program deradikalisasi tersebut.
Ngajib menuturkan, pendekatan agama dengan mempertemukan RES dengan ulama awalnya dilakukan dalam sebuah kelas besar.
Baca juga: Pemerintah Diminta Kaji Mendalam soal Pemulangan Anak-anak Teroris Lintas Batas
Setelah beberapa saat, RES baru dipertemukan langsung dengan ulama tersebut yang memberikan wawasan mengenai ajaran agama yang seharusnya.
Pendekatan selanjutnya adalah melalui hobi. RES menggeluti hobinya sambil didampingi orang yang berpengalaman.
Tahap terakhir adalah mempertemukan RES dengan mantan teroris yang telah menjalani masa hukumannya.
“Jadi kita masukkan (eks narapidana), untuk memberi pemahaman bahwa apa yang dilakukan itu, sama dulu pemahamannya, pemahaman yang salah,” tuturnya.
Baca juga: Ini Cara Cegah Anak Terpapar Radikalisasi Versi BNPT
Akhirnya, RES lepas dari paham tersebut setelah tujuh bulan menjalani program deradikalisasi.
Ngajib pun tak menampik bahwa pelaksanaan program deradikalisasi tidaklah mudah.
Meski sang anak tak memberi penolakan terhadap program tersebut karena awalnya dilakukan secara diam-diam, masih ada kesulitan lainnya.
“Sampai saya pun sudah dibilang tagut (atau menyembah selain Allah), tantangan ya itu, kita sudah dibilang tagut,” ujar dia.
Baca juga: KPAI: Perlu Upaya Komprehensif Cegah Anak Terpapar Radikalisme
Selain itu, ia juga menyinggung perihal kompleksitas penanganan orang yang terpapar ideologi radikal.
Maka dari itu, Ngajib membutuhkan kontribusi berbagai pihak saat menjalankan tugasnya. Salah satunya adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) di daerah tersebut.
Kini, berdasarkan keterangan Ngajib, RES menjalani kehidupannya secara normal.
Kendati demikian, ia masih dipantau oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) hingga sekarang.
Baca juga: Nadiem Bicara 3 Dosa di Sekolah: Radikalisme, Kekerasan Seksual, dan Bullying
Ngajib pun mengaku masih berhubungan langsung dengan RES.
Menurutnya, setelah menyelesaikan sekolah dari sebuah SMK di kawasan Jawa Barat, RES sedang memulai usahanya.
“Kita (pemantauan) jarak jauh, melalui telepon, jadi kita monitor. Sekarang kan sudah lulus dari SMK, sudah mulai merintis usaha, kita bimbing,” ucap Ngajib.
RES pun sepakat untuk menjadi salah satu narasumber atau ikut berpartisipasi dalam program deradikalisasi tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.