JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Badan Pembina Lembaga Partispasi Perempuan (LP2) Adriana Venny menilai, satu-satunya cara untuk membatalkan pemberhentian Sitti Hikmawatty sebagai komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah dengan menggugatnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Pemberhentian Sitti ditandai dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 43/P Tahun 2020 yang telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.
"Saya turut prihatin atas keluarnya Keppres ini dan memang kalau sudah keluar keppres ini sudah tidak ada jalan lain selain gugat PTUN," ujar Adriana dalam konferensi pers melalui video konferensi, Selasa (28/4/2020).
Baca juga: Diberhentikan Jokowi, Sitti Hikmawatty: Saya Terima dan Hormati
Menurut Adriana, dasar diterbitkannya keppres tersebut juga dinilai bermasalah, yakni keputusan dewan etik dan rapat pleno KPAI.
Isi keputusan itu, kata dia, dinilai berat sebelah karena tidak memuat pertimbangan yang memberikan pembelaan terhadap Sitti.
Ditambah lagi, kata dia, salah satu komisioner Komnas Perempuan yang dimintai keterangan malah menyatakan bahwa tidak ada kode etik di KPAI.
"Jadi semua yang tertulis itu memberatkan. Ini jadi aneh, keputusan dibuat tapi tidak ada kode etik yang menjadi rujukan," kata dia.
Tidak hanya itu, kata dia, meskipun tidak ada kode etik, tetapi hal tersebut masih bisa diputuskan dalam sebuah rapat pleno.
Baca juga: Presiden Jokowi Berhentikan Sitti Hikmawatty dari Jabatan Komisioner KPAI
Oleh karena itu, menurut Adriana, keputusan pemberhentian Sitti ini juga menjadi sebuah kecerobohan karena tak ada rujukannya.
"Dalam perpres tentang KPAI, pemecatan tidak hormat itu ada dua. Pertama adalah pidana dan kedua pelanggaran kode etik," kata dia.
Menurut dia, dalam kasus Sitti, pidana tidak memenuhi unsur-unsur karena tidak terbukti, termasuk juga pelanggaran kode etik yang sulit dibuktikan karena kode etiknya tidak ada.
"Akibatnya adalah pemecatan tidak hormat menurut saya, ini suatu kecerobohan karena apa yang sudah disebutkan dewan etik dan rapat pleno apakah ada dalam ranah etika, etiket, atau moralitas publik. Yang dikedepankan surat dewan etik berkali-kali mengatakan tidak ada permintaan maaf, itu di level mana? Etiket atau mana?" kata dia.
Jika begini aturan mainnya, kata dia, maka semua komisioner bisa kena sebab tak ada rujukan dan sangat subyektif.
Baca juga: Sitti Merasa Diadili Berlebihan soal Komentar Hamil di Kolam Renang
Dengan demikian, menurut dia, keppres tersebut harus digugat ke PTUN karena hal tersebut merupakan sebuah diksriminasi terutama komisioner perempuan.
"Kalau tidak ada kode etiknya, jelas semua bisa rentan terhadap tuduhan pelanggaran kode etik. Yang juga membingungkan adalah kesalahan dalam pernyataan sudah minta maaf tapi kenapa tetap dipecat tidak hormat? Alasannya apa?" kata dia.