PADA tahun ini, para perempuan bertambah sibuk. Mereka juga harus menghadapi tambahan tekanan pandemi virus corona (Covid-19), karena semua aktivitas kehidupan jadi dipusatkan di rumah.
Semua anggota keluarga dipingit corona. Perempuan sebagai CEO rumah tangga—bukan kepala keluarga—menjadi makin terkuras energi sejak ada kebijakan #diRumahAja.
Pandemi mengubah hampir segala aspek kehidupan mulai pendidikan, bisnis, agama, hingga “rumah sakit” yang beralih ke dalam rumah.
Banyak ibu dan istri harus masak berkali-kali dalam sehari untuk suami dan anak-anak, bahkan ketika yang diladeni sibuk dengan gadget masing-masing sepanjang hari.
Rumah menjadi layaknya war room untuk para suami pebisnis karena pandemi bikin krisis kesehatan sekaligus ekonomi.
Rumah berubah jadi kelas sekolah, masjid, bahkan klinik untuk merawat orang sakit baik jiwa maupun raga. Multitasking perempuan bertambah seperti deret ukur dalam dua bulan ini.
Sedihnya, data menunjukkan perempuan justru menjadi semakin rentan sebagai sasaran kekerasan anggota keluarga.
Data UNIFEM (2020) menunjukkan, ada kenaikan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di banyak negara sampai 30-50 persen selama pandemi ini.
Baca juga: Kisah Penyintas KDRT: Mereka yang Terhempas dan Bangkit
Koalisi Perempuan Indonesia (KPAI) dan juga Kapal Perempuan menemukan gejala yang sama di wilayah dampingan masing-masing.
BKKBN mengindikasikan pula adanya kenaikan kehamilan para istri selama pandemi sebagai akibat para relawan KB yang tidak lagi turun lapangan untuk memberikan pelayanan.
Lalu, singkatnya, selain peran reproduksi dan produksi yang meningkat selama pandemi, peran komunitas juga meningkat meski lagi dalam isolasi atau pingitan. Kok bisa?
Dengan alasan kerja di rumah (work from home), ternyata pelayanan-pelayanan khusus untuk perempuan ikut tutup.
Pelayanan yang tutup itu termasuk unit pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak (UPT P2TP2A), panti lansia, rumah aman, bahkan beberapa ruang pelayanan khusus (RPK) perempuan dan anak.
Walau sedang butuh perhatian, para perempuan harus memberikan pelayanan kepada sesama perempuan.
Kemudian, di kalangan keluarga miskin disinyalir terjadi kenaikan praktik perkawinan anak di bawah tangan dengan alasan ekonomi, termasuk karena orang tua terjerat utang.