JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid mengungkapkan alasan dirinya mundur dari jabatan staf khusus Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2007 silam.
Yenny pernah didapuk oleh SBY sebagai staf khusus bidang Komunikasi Politik pada 2006. Namun, setahun kemudian, putri Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid itu memilih mundur.
Baca juga: Yenny Wahid: Staf Khusus Presiden Harus Bebas dari Konflik Kepentingan
Alasannya, Yenny ingin menghindari konflik kepentingan antara jabatan staf khusus presiden dengan partai politiknya saat itu, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
"Saya keluar kan lebih karena waktu itu ada konflik kepentingan dengan partai. Saya masih diminta oleh Gus Dur untuk mengurus partai," kata Yenny kepada Kompas.com, Senin (20/4/2020).
Yenny menuturkan, saat itu ia harus memilih salah satu di antara jabatan staf khusus atau pengurus partai.
Ia berpendapat bahwa ketika berada di pemerintahan, maka prioritas utama adalah kepentingan mengabdikan diri melalui jabatan yang telah diamanahkan.
Yenny khawatir, jika mengambil posisi sebagai pengurus partai tetapi juga menjabat sebagai staf khusus, ia tak dapat menjalankan amanah dan kepercayaan publik.
"Jadi saya putuskan daripada saya tidak bisa menjalankan mandat dan amanah, mencederai kepercayaan publik, maka saya putuskan untuk keluar," tuturnya.
Baca juga: Yenny Wahid: Adik-adik Staf Khusus Milenial Harus Ada yang Bimbing
Yenny juga bercerita bahwa selama berada di lingkungan istana, banyak godaan yang kerap kali muncul.
Apalagi, dirinya juga merupakan seorang putri mantan orang nomor satu Indonesia.
Godaan itu beragam bentuknya, mulai dari permintaan memuluskan proyek, hingga lobi permohonan proyek.
"Orang yang ingin dimuluskan proyeknya, ingin dapat proyek, itu banyak yang datang melobi," ujar dia.
Baca juga: Sosok Yenny Wahid, Putri Gus Dur Ditunjuk Jadi Komisaris Garuda Indonesia
Namun demikian, sebagai seorang yang telah diberi amanah jabatan, Yenny berpandangan bahwa ada nilai-nilai yang harus ia pegang.
Termasuk, nilai untuk menghindari konflik kepentingan dengan mengesampingkan keperluan pribadi.
Jika tidak, konflik kepentingan akan berakibat pada kolusi dan nepotisme, yang pada akhirnya menjadi perilaku koruptif.
"Kalau kita sudah berani mengambil jabatan itu berarti harus siap menanggung risikonya," ujar Yenny.
"Salah satu risikonya adalah siap berkorban. mengorbankan waktu tenaga, bahkan kepentingan bisnis pribadi haris dikesampingkan," ucap Yenny.