Sejumlah kalangan menilai, PSBB di Ibu Kota tak optimal karena tidak dijalankan dengan maksimal.
Kebijakan yang dimaksudkan untuk membatasi lalu lalang dan kerumunan orang ini tak efektif karena masih banyak perusahaan dan perkantoran di DKI Jakarta yang masih beroperasi.
Sementara, hampir sebagian besar buruh dan karyawan perusahaan di Jakarta tinggal di wilayah penyangga. Sehingga mobilitas orang keluar masuk Ibu Kota masih tinggi.
Selain itu, transportasi publik juga masih beroperasi meski ada sejumlah pembatasan. Namun, kerumunan masih tampak di sejumlah stasiun commuterline (KRL) serta penumpang yang memadati setiap gerbong kereta.
Sementara usulan penghentian operasional KRL yang disampaikan DKI Jakarta dan lima wilayah di Jabar yang melakukan PSBB ditolak Kementerian Perhubungan. Padahal, itu dilakukan guna memaksimalkan pelaksanaan PSBB di wilayah mereka.
Baca juga: Ini Alasan Luhut Tidak Hentikan Operasional KRL
Aturan yang tumpang tindih antara pusat dan daerah juga dianggap sebagai salah satu faktor yang membuat PSBB tidak efektif.
Misalnya perbedaan pandangan antara Kemenkes dan Kemenhub terkait operasional angkutan roda dua berbasis online. Meski pada akhirnya Kemenhub menyerahkan pelaksanaan aturan tersebut ke pemerintah daerah, namun regulasi tersebut tetap membingungkan.
Ambiguitas kebijakan pemerintah pusat juga terjadi dengan terbitnya Surat Edaran Menteri Perindustrian No.4 2020 tentang Pelaksanaan Operasional Pabrik Dalam Masa Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019.
Edaran ini membuat banyak pabrik/industri termasuk industri non-esensial tetap beroperasi. Hal ini diperparah dengan tidak adanya penegakan hukum bagi yang melanggar.
PSBB DKI Jakarta tinggal menyisakan 3 hari. Namun, belum ada tanda-tanda penyebaran Covid-19 di wilayah ini berhenti.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berencana memperpanjang kebijakan pembatasan tersebut.
Meski diperpanjang, PSBB dinilai tidak akan optimal jika pola yang diterapkan sama dengan sebelumnya.