JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi mengatakan, pihaknya mendesak Presiden Joko Widodo untuk menunda pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja.
Pada Selasa (14/4/2020), DPR mengagendakan pelaksanaan Rapat Kerja dengan Pemerintah untuk melanjutkan pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja.
Adapun agenda utama rapat ini adalah untuk menyepakati kelanjutan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja antara DPR dan Pemerintah.
Baca juga: Bahas Omnibus Law, DPR Gelar Rapat dengan Menkumham, Menko Perekonomian, hingga Mendagri
"Kami mendesak Presiden menyatakan untuk menunda pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja dalam Rapat Kerja bersama DPR dan sekaligus menarik Surat Presiden (Supres), Draf, dan Naskah Akademik RUU Cipta Kerja untuk disempurnakan dengan menghilangkan pasal-pasal kontroversial yang bertentangan dengan prinsip negara hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan," ujar Fajri dalam keterangan tertulisnya, Selasa.
PSHK juga meminta DPR untuk menunda pembahasan seluruh RUU, termasuk RUU Cipta Kerja, sampai masa Darurat Bencana Nasional dan Darurat Kesehatan Masyarakat dinyatakan berakhir.
Baca juga: Omnibus Law yang Berpotensi Merusak Mahkota Otonomi Daerah...
"DPR harus lebih fokus dan kritis untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam penanganan Covid-19. Pengawasan harus dilakukan untuk menjaga agar pemerintah tetap menjalankan kewenangannya sesuai dengan prinsip negara hukum," tegas Fajri.
Lebih lanjut Fajri menjelaskan latar belakang mengapa pembahasan omnibus law Cipt Kerja harus ditunda.
Pertama, langkah DPR untuk melanjutkan pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja telah menuai kritik dari berbagai kalangan, mengingat proses penyusunan dan materi RUU Omnibus Cipta Kerja menyimpan begitu banyak permasalahan substansial dan prosedural.
Baca juga: Tolak Omnibus Law, Ribuan Buruh Ancam Berunjuk Rasa pada 30 April
Kedua, naskah omnibus law RUU Cipta Kerja yang begitu kompleks dari sisi struktur, dan ketentuan Pasal 166 serta Pasal 170 yang bertentangan dengan hirarki perundang-undangan dan Putusan Mahkamah Konstitusi hanyalah contoh dari sebagian permasalahan yang muncul di permukaan.
Ketiga, penyusunan omnibus law RUU Cipta Kerja di sisi pemerintah yang tertutup mengabaikan aspek pembentukan yang transparan dan partisipatif; suatu hal yang seharusnya menjadi perhatian DPR.
"Keempat, dari sisi waktu, adanya pandemi Covid-19 seyogyanya menimbulkan pemahaman bahwa publik sebagai pemangku kepentingan tidak akan maksimal melakukan pengawalan akan proses pembahasan RUU apapun di DPR," tutur Fajri.
Baca juga: Siap Gelar Raker Omnibus Law Ciptaker, DPR Siap Tampung Aspirasi Rakyat
Di sisi lain, tetap melajunya Pemerintah dalam pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja ini akan kontradiktif dengan penetapan status bencana nasional Covid-19 berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Covid-19.
"Kondisi ini berpotensi menimbulkan kontroversi di publik karena menunjukkan adanya permasalahan mendasar tentang skala prioritas situasi nasional," tambah Fajri.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.