Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wacana Revisi UU MK yang Menuai Kritik...

Kompas.com - 14/04/2020, 08:50 WIB
Ardito Ramadhan,
Icha Rastika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merevisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menuai kritik karena dinilai tidak mengatur hal-hal substansial dalam memperbaiki institusi MK.

Sebaliknya, draf revisi UU MK itu dinilai lebih banyak mengatur komposisi hakim MK, termasuk soal masa jabatan hingga usia minimum hakim MK.

"Apa kaitannya dengan masa jabatan yang kemudian dipanjangkan, problem di MK itu bayangan saya berkaitan dengan pengambilan keputusan, saya enggak tahu seberapa berkualitas sekarang putusan," kata pakar hukum tata negara UGM, Zainal Arifin Mochtar dalam sebuah diskusi, Senin (14/4/2020) kemarin.

Baca juga: Revisi UU MK Diajukan Ketua Baleg DPR sebagai Pengusul Tunggal

Menurut Zainal, putusan MK yang berbeda kualitasnya antara suatu putusan dengan putusan yang lain mestinya menjadi prioritas ketimbang ketentuan soal masa jabatan.

Ia juga menyoroti kentalnya politisasi di MK yang membuat putusan dapat disetir tanpa kejelasan.

"Ada putusan yang kelihatan serius dalam mengelola konsep putusannya, ada putusan yang seakan-akan asal jadi," kata Zainal.

"Itu problem menurut saya, lagi-lagi apa hubungannya dengan masa jabatan?" ujar dia.

Pasal 22 UU MK mengatur masa jabatan hakim konstitusi berlaku selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.

Dalam draf revisi UU MK, ketentuan Pasal 22 tersebut dihapus. Ketentuan akhir masa jabatan hakim MK diatur lewat Pasal 23 yang menyatakan hakim MK dapat diberhentikan dengan hormat bila telah berusia 70 tahun.

Menurut pengajar pakar hukum tata negara STIH Jentera Bivitri Susanti, pembatasan masa jabatan tetap diperlukan sebagai mekanisme mengukur kinerja dan akuntabilitas para hakim MK.

"Apakah ada cara lain, apakah ada mekanisme lain yang secara kuat mengontrol perilakunya dan juga bagaimana kinerjanya di mahkamah konstitusi, hal ini yang harus dipertanyakan," ujar Bivitri.

Baca juga: Revisi UU MK, Aturan Usia Minimal Hakim Konstitusi Dipersoalkan

Usia minimal 60 tahun

Pasal lain dalam draf revisi UU MK yang dipersoalkan adalah Pasal 15 yang mengatur sejumlah syarat untuk menjadi hakim MK.

Dalam Pasal 15 Ayat (2) draf tersebut, usia minimum hakim MK adalah 60 tahun.

 

Sementara itu, dalam UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang MK, usia minimal hakim MK adalah 47 tahun dengan usia maksimal 65 tahun saat diangkat.

Menurut Bivitri, kenaikan usia minimum hakim MK itu tidak rasional. Apalagi, belum ada naskah akademik yang menjelaskan perubahan tersebut.

"Rasionalitasnya itu apa, dalam arti apakah penentuan merit, kemampuan, dan integritas seseorang itu bisa diukur dengan usia? Ini untuk persoalan usia minimum hakim 60 tahun," kata Bivitri.

Senada dengan Bivitri, Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz menilai. usia minimum hakim MK menjadi 60 tahun itu juga tidak rasional.

Sebab, MK diprediksi akan mendapat pekerjaan berat ke depan, misalnya pada 2024 mendatang ketika pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif, dan pemilihan presiden akan dilaksanakan serentak.

"Justru menaikan usia syarat minimum hakim dengan jumlah perkara potensial ke depan menurut saya adalah sesuatu yang asimetris atau bertolak belakang dengan beban kerja," kata Donal.

Baca juga: Ketentuan Seleksi Hakim Konstitusi Perlu Diatur UU MK

Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, perubahan usia minimum hakim itu betujuan untuk menyeragamkan usia pensiun hakim di Mahkamah Konstitusi dengan hakim agung di Mahkamah Agung yaitu usia 70 tahun.

"Juga syarat-syarat menjadi hakim MK, Salah satunya syarat usia minimal 60 tahun," ucapnya

Namun, Zainal menilai alasan itu mengada-ngada. Sebab, meskipun usia maksimum hakim MK dan MA sama-sama 70 tahun, usia minimum hakim MA adalah 45 tahun.

"Kalau dia sekadar hanya mau menyesuaikan dengan Mahkamah Agung, pertanyaanya adalah kenapa berstandar ganda? Di ujungnya sama, di awalnya berbeda," kata dia.

Masih berkaitan dengan usia minimum hakim MK, Zainal menyebut pasal 87 huruf c dalam draf RUU MK yang mengatur soal aturan peralihan juga bermasalah.

Pasal 87 huruf c menyatakan, apabila hakim konstitusi telah berusia 60 tahun maka masa jabatannya langsung berlanjut sampai usia 70 tahun.

Menurut Zainal, ketentuan tersebut akan menguntungkan para hakim MK yang sedang menjabat karena delapan dari sembilan hakim telah berusia 60 tahun.

"Delapan di antaranya akan diuntungkan karena semuanya akan nyambung, mungkin juga satu yang harus berhenti karena mekanisme itu tidak menguntungkan dia yaitu Yang Mulia Saldi Isra," ujar Zainal. 

Minta MK bicara

Draf revisi UU MK yang dinilai tidak substantif ini diharapkan dapat mendorong para hakim MK untuk menyampaikan poin-poin yang semestinya direvisi dan itu bukan soal masa jabatan.

"Harusnya hakim MK yang ngomong bahwa apa problem mereka dengan masa jabatan. Saya berharap hakim MK yang berani karena ini sangat erat dengan konflik kepentingan mereka," kata Zainal.

Baca juga: Komisi II Usulkan Revisi UU MK untuk Antisipasi Konflik Pilkada

Para anggota DPR pun diingatkan untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU MK dan sejumlah RUU lainnya seperti omninus law RUU Cipta Kerja, revisi KUHP, dan RUU Pemasyarakatan di tengah pandemi Covid-19.

Bivitri mengatakan, pembahasan yang terus berlanjut di tengah pandemi Covid-19 ini berpotensi membuat RUU yang disahkan nanti digugat ke MK karena tidak memenuhi syarat partisipasi publik.

"Apabila ini di-bypass dalam konteks banyak RUU dibahas mengabaikan kondisi kita yang harus ada di rumah, kita bisa katakan bahwa nanti akan terjadi banyak uji formil terhadap RUU itu bila disahkan atau diundangkan nantinya," kata Bivitri.

Donal menambahkan, DPR bersama Pemerintah terkesan seenaknya membahas rancangan undang-undang kontroversial di tengah situasi darurat seperti pandemi Covid-19 ini.

"DPR sedang suka-sukanya bersama pemerintah membahas undang-undang kontroversial di momen-momen yang krusial. Masyarakat disuruh stay at home tapi proses-proses produk potensial yang kontroversial justru terus dilakukan," kata dia.

Baca juga: Revisi UU Dinilai Tak Jawab Permasalahan di MK

Sementara itu, Supratman mengatakan, pembahasan RUU MK masih menunggu respons dari pemerintah yaitu berupa surat presiden (surpres) dan daftar inventarisasi masalah (DIM).

"Kan baru disetujui usulan inisiatif DPR, masih nunggu Surpres dan DIM dari presiden," kata dia.

Sebelumnya, dalam rapat paripurna, Kamis (2/4/2020) DPR menyepakati Revisi Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi inisiatif DPR.

"Pertama, Pendapat Fraksi-fraksi terhadap RUU Perubahan ketiga atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi RI dilanjutkan dengan Pengambilan Keputusan menjadi RUU Usul DPR RI," kata Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com