Terlebih lagi, secara politik para kepala daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR) punya legitimasi kuat karena mereka dipilih langsung masyarakat setempat.
Bahkan, tidak jarang dalih kearifan lokal menjadi pertimbangan kuat kebijakan pelaksana di tingkat daerah menjadi berbeda dengan peraturan pusat yang secara hierarki hukum lebih tinggi.
Tumpang tindih aturan pun akan kembali muncul. Bisa dibayangkan jika keberadaan peraturan daerah, peraturan gubernur, hingga peraturan bupati dan wali kota kontradiktif dengan aturan di atasnya.
Akibatnya, kebingungan secara masif akan terjadi di daerah. Catatan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, sampai November 2019 saja, terdapat sedikitnya 347 peraturan daerah bermasalah yang bertentangan dengan aturan di atasnya.
Kedua, potensi kekosongan peraturan di daerah. Saat omnibus law diketok, pemda dan DPRD harus segera menyesuaikan berbagai aturan teknis di daerah.
Ini pun dengan catatan jika Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadi turunan omnibus law bisa segera disusun.
Padahal, penyusunan PP dan revisi berbagai perda butuh waktu lama dan ada banyak kepentingan yang harus diakomodasi. Terlebih lagi, mata semua orang kini tertuju pada upaya menangani wabah Covid-19 yang mendesak karena telah merambah mayoritas daerah di Indonesia.
Baca juga: Akan Sahkan RUU Berpolemik, DPR Dinilai Aji Mumpung Manfaatkan Wabah Covid-19
Ketiga, ancaman terhadap ekonomi, investasi, dan pembangunan di daerah. Selama ini, perdebatan dua omnibus law seringkali terjebak kepada kepentingan populis dan politis.
Padahal, di luar itu semua, terdapat satu aspek yang tak kalah penting yakni keberlangsungan usaha para pebisnis.
Faktor ini turut menentukan nasib pertumbuhan ekonomi, investasi, dan pembangunan di daerah, bahkan Indonesia.
Sejumlah klausul di omnibus law RUU Cipta Kerja maupun RUU Perpajakan tidak ramah investasi, sehingga Indonesia belum menarik di mata investor.
Di RUU Cipta Kerja misalnya, beberapa klausul berpotensi memunculkan beban sangat besar bagi perusahaan yang dalam jangka panjang merugikan buruh. Indonesia akan dicap sebagai negara dengan biaya buruh mahal.
Baca juga: Kasbi: Kaum Buruh Sulit Dapat Akses Terkait Pembahasan RUU Cipta Kerja
Padahal, di tengah nasib ekonomi yang serba tidak pasti akibat pandemi Covid-19, para investor dan pebisnis punya dua opsi: melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk efisiensi atau sama sekali keluar dari Indonesia.
Dua-duanya sangat tidak menguntungkan bagi daerah tempat operasional bisnis berada. PHK membuat rentan menciptakan kemiskinan dan pengangguran di daerah. Sementara jika investor keluar sama sekali, pengembangan wilayah juga akan terganggu.
Hal senada juga terjadi di RUU Perpajakan yang menetapkan berbagai syarat pelaku usaha mendapatkan insentif.