JAKARTA, KOMPAS.com - Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis telah mengeluarkan sejumlah kebijakan terkait penanganan wabah Covid-19 di Tanah Air.
Awalnya, Kapolri mengeluarkan maklumat bernomor Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (Covid-19) tertanggal 19 Maret 2020.
Melalui maklumat tersebut, Idham meminta masyarakat tidak berkerumun.
Kegiatan berkerumun yang dimaksud di antaranya, seminar, lokakarya, konser musik, festival, pameran, resepsi, unjuk rasa, karnaval, dan lainnya.
Mereka yang melanggar akan dijerat Pasal 212 KUHP, Pasal 216 KUHP, dan Pasal 218 KUHP. Ancaman hukumannya adalah satu tahun empat bulan penjara.
Baca juga: Amnesty: Pemidanaan Penghina Presiden Justru Bisa Tingkatkan Jumlah Orang Masuk Penjara
Belum lama ini, Kapolri menerbitkan lima surat telegram yang menjadi panduan bagi penyidik dalam melakukan penegakan hukum di tengah wabah Covid-19.
Kelima telegram ditandatangani oleh Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo tertanggal 4 April 2020.
Secara garis besar, sejumlah tindak pidana yang dibidik polisi yakni, mereka yang melawan petugas, penimbun bahan pokok, hingga penghina Presiden Joko Widodo maupun pejabat pemerintah lainnya di media sosial.
Ancaman pidana juga menanti bagi mereka yang melanggar.
Kebijakan-kebijakan tersebut menuai kritik dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Ancam kebebasan berpendapat
Kritik datang dari Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR).
Terkait ketentuan pidana bagi penghina presiden dan pejabat lainnya, Direktur Eksekutif ICJR Erasmus A. T. Napitupulu menilai polisi memanfaatkan pandemi Covid-19 untuk membungkam kebebasan berpendapat.
“Pandemi Covid-19 malah dijadikan momen oleh aparat penegak hukum untuk membungkam kebebasan berpendapat warga negara secara eksesif melalui penjeratan pasal-pasal UU ITE dan KUHP,” ungkap Erasmus melalui keterangan tertulis, Selasa (7/4/2020).
Baca juga: Penghina Presiden dan Pejabat dalam Penanganan Covid-19 Terancam Sanksi Penjara
Menurut ICJR, kebijakan tersebut justru menimbulkan rasa takut di masyarakat.
Rentan penyalahgunaan
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) turut menyoroti surat telegram Kapolri tersebut.
Ketua YLBHI Asfinawati berpandangan, penjelasan yang minim terkait pasal untuk menjerat suatu tindak pidana malah berpotensi disalahgunakan.
“Pasal-pasal yang ada tanpa disertai penjelasan yang memadai berdasarkan hukum dan putusan pengadilan yang berkembang berpotensi kuat menjadi penyalahgunaan dalam penerapannya,” kata Asfinawati melalui keterangan tertulis, Selasa.
Baca juga: Amnesty: Pidana bagi Penghina Jokowi Picu Pelanggaran Kebebasan Berpendapat
Ia menyinggung soal aturan terkait penghinaan presiden. Padahal, pasal-pasal terkait penghinaan presiden telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Melalui putusan bernomor 013-022/PUU-IV/2006, MK membatalkan Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP.
MK menilai pasal-pasal tersebut bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi.
“Menggunakan pasal ini secara serampangan berarti menghidupkan kembali semangat kolonialisme yang sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi,” ujar Asfinawati.
Baca juga: Langkah Polisi Dinilai Bisa Sebarkan Covid-19 ke Dalam Penjara
Lebih lanjut, YLBHI berharap pemerintah lebih mengedepankan upaya persuasif dalam penanganan wabah Covid-19 ini.
Kontradiktif
Sejumlah kebijakan dengan pendekatan pemidanaan tersebut dinilai kontradiktif dengan keputusan pemerintah membebaskan narapidana demi mencegah penyebaran virus corona.
Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, langkah pemidanaan meningkatkan potensi penyebaran virus di penjara.
“Ini akan memperburuk situasi penjara yang sudah sesak dan tidak higienis, apalagi ketika wabah ini belum berhasil dikendalikan,” ucap Usman melalui keterangan tertulis, Senin (6/4/2020).
Baca juga: Upaya Polisi Menghadapi Pandemi Covid-19, Penegakan Hukum hingga Kawal Proses Pemakaman
“Telegram itu justru akan berpotensi meningkatkan jumlah orang yang masuk penjara atas tuduhan penyebaran berita palsu dan penghinaan terhadap presiden maupun pejabat negara,” sambung Usman.
Klaim Upaya Terakhir
Di sisi lain, Polri sendiri mengklaim bahwa penegakan hukum terkait upaya pencegahan penyebaran Covid-19 merupakan pilihan terakhir.
Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Divisi Humas Polri Kombes Asep Adi Saputra menuturkan, polisi mengutamakan upaya preventif dan preemtif.
“Penegakan hukum yang dilakukan Polri selama masa pencegahan penyebaran Covid-19, pada prinsipnya adalah pilihan terakhir atau ultimum remedium,” ujar Asep melalui siaran langsung di akun Instagram Divisi Humas Polri, Senin (6/4/2020).
Ia mengatakan, langkah penegakan hukum baru akan dilakukan apabila kedua upaya itu tidak berhasil.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.