JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah perlu menyusun rancang biru kebijakan yang jelas dalam menangani pandemi Covid-19.
Kebijakan yang disusun pun diharapkan tidak saling tumpang tindih bahkan kontradiktif, karena akan berdampak pada kurang maksimalnya proses eksekusi di lapangan.
Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menanggapi sikap kontradiktif pemerintah dalam pembebasan tahanan dari penjara guna mengantisipasi penyebaran Covid-19 di dalam lembaga pemasyarakatan.
Baca juga: Amnesty: Pemidanaan Penghina Presiden Justru Bisa Tingkatkan Jumlah Orang Masuk Penjara
Sebab, pada saat yang sama Kapolri Jenderal Pol Idham Azis justru menerbitkan Surat Telegram Nomor ST /1100/IV.HUK.7.1./2020 yang memerintah jajaran di bawahnya untuk menindak tegas setiap orang yang menghina Presiden Joko Widodo dan jajarannya dalam penanganan Covid-19.
"Itulah kalau pemerintah enggak mempunyai konsep untuk menghadapi Covid-19. Kasihan pasukan di bawah. Orang (Ditjen) Pemasyarakatan pasti pusing betul," kata Erasmus kepada Kompas.com, Senin (6/4/2020).
Baca juga: Langkah Polisi Dinilai Bisa Sebarkan Covid-19 ke Dalam Penjara
Surat Telegram yang ditandatangani Kabareskri Komjen Listyo Sigit Prabowo itu terbit sejak 4 April 2020.
Di dalam telegram itu, seluruh jajaran Polri diminta menggiatkan patroli siber untuk mengawasi perkembangan situasi dan opini di ruang siber.
Adapun yang menjadi sasaran adalah mereka yang menyebarkan hoaks terkait Covid-19, hoaks terkait kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi penyebaran wabah Covid-19, penghinaan kepada penguasa/Presiden dan pejabat pemerintah, serta praktek penipuan penjualan alat kesehatan secara daring.
Baca juga: Napi yang Keluar dari Penjara Lewat Program Asimilasi Tak Boleh Keluar Rumah
Para pelaku juga diancam hukuman pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan sesuai dengan ketentuan di dalam Pasal 207 KUHP.
Menurut Erasmus, narasi hukuman yang dimunculkan Polri kian membuat masyarakat bingung.
"Lho kok mau dihukum lagi padahal pemerintah yang bilang lapas penuh. Untuk kejahatan enggak penting dan tidak berdasar pula seperti penghinaan Presiden," ujarnya.
Seperti diketahui, sesuai Keputusan Menteri Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020, setidaknya ada 30.000 napi yang rencananya akan dibebaskan untuk merelaksasi kapasitas lapas yang kian penuh.
Baca juga: Penghina Presiden dan Pejabat dalam Penanganan Covid-19 Terancam Sanksi Penjara
Proses pengeluaran napi ini melalui asimilasi dengan sejumlah ketentuan, yaitu napi yang dua per tiga masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020; dan anak yang setengah masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020.
Kemudian, napi dan anak yang tidak terkait dengan PP Nomor 99 Tahun 2012, yang tidak sedang menjalani subsidair dan bukan warga negara asing.
Selain itu, asimilasi dilaksanakan di rumah dan surat keputusan asimilasi diterbitkan oleh Kepala Lapas, Kepala LPKA, dan Kepala Rutan.
Erasmus mengingatkan, Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya telah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden yang tertuang di dalam KUHP.
Baca juga: Cara Lapas di Ngawi Perangi Corona: Napi Berjemur, Penjara Disemprot Kapur Barus Campur Minyak Tanah
Keputusan itu tertuang di dalam putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, dimana Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP dinilai MK bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi.
Menurut dia, munculnya telegram Polri tersebut justru semakin menguatkan kesan pemerintah yang antikritik terhadap penangnan Covid-19.
"Bagaimana polisi dan pemerintah menyuruh kita ikut aturan, kalau mereka juga enggak mau ikutin aturan sederhana kayak putusan MK? Kan konyol ini," tandasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.