Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 menjadi contoh nyata saat strategi polarisasi berhasil membelah Indonesia, menjadi dua kubu yang saling berhadapan.
Ada kelompok-kelompok, meskipun kecil tapi punya pengaruh, yang melabelkan tokoh yang merupakan lawan politiknya, sebagai musuh besar, bahkan pengkhianat negara.
Padahal, persaingan yang terjadi sebenarnya lebih kepada perbedaan cara dalam mengelola negara, tetapi tetap dengan dasar niat baik untuk kepentingan bangsa dan negara. Saking hebatnya strategi polarisasi ini, bahkan ketika kedua jagoannya pasca Pilpres 2019 sudah melebur di dalam satu kubu, polarisasi di tingkat akar rumput masih terus terjadi.
Bahkan, polarisasi seakan-akan menjadi cara baru dalam berpolitik dan berpendapat. Selalu hanya akan ada dua kutub dalam setiap diskusi dan kontestasi, pendukung saya dan lawan saya. Ya atau tidak.
Seakan-akan ruang untuk kubu alternatif, atau pemikiran baru, tertutup rapat. Jika berusaha merangkul kedua kutub atau merintis ruang kompromi, dianggap tidak konsisten, ataupun mendua.
Lanskap politik kedua ini menjadi tantangan besar berikutnya bagi parpol-parpol di Indonesia saat ini.
Bagaimana pola pikir dan gerakan mengedepankan polarisasi yang menguat di kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat kita, yang memecah-belah masyarakat, bangsa, dan negara dalam dua kubu, bisa dijebol, diruntuhkan, dan dikembalikan kepada pola pikir dan sikap menghargai perbedaan.
Pola pikir yang menganggap semakin beragam pemikiran dan sikap politik yang ada, semakin baik.
Bukan menutup ruang untuk yang berbeda. Bukan menganggap kubu lain sebagai musuh. Melainkan sama-sama menyadari kita berjuang untuk bangsa dan negara, meskipun berbeda dalam cara dan pandangan.
Lanskap politik Indonesia terkini yang ketiga adalah semakin melemahnya peran masyarakat sipil dan menurunnya apresiasi terhadap hak-hak politik dan kebebasan sipil di Indonesia.
Berdasarkan laporan global tahunan Freedom House, lembaga pemantau dan pendukung demokrasi yang berdiri sejak 1941 di New York, Indonesia mengalami kemunduran indeks hak-hak politik dan kebebasan masyarakat sipil secara siginifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Ada dua hal yang harus menjadi perhatian kita bersama terkait lanskap politik Indonesia ketiga ini.
Pertama, menurut Freedom House, sebagaimana dikutip dari laman freedomhouse.org, sejak tahun 2014, sampai dengan laporan terakhir tahun 2020 ini, demokrasi Indonesia mengalami kemunduran. Indonesia kembali ke kategori negara partly free atau bebas sebagian.
Padahal, Indonesia telah berhasil masuk ke kategori negara free atau bebas sejak 2006. Kategori negara-negara yang dianggap demokrasinya sudah sangat baik. Prestasi ini bertahan sampai dengan tahun 2013.
Kedua, bukan saja kondisi negara kita yang tertahan di kategori partly free selama enam tahun ini yang perlu kita khawatirkan.
Rating-nya pun terus menurun, terutama dalam empat tahun terakhir. Dari 65 di tahun 2017 (skor yang diberikan dalam skala 100), 64 di tahun 2018, 62 di tahun 2019, dan 61 di laporan tahun 2020.
Penurunan secara konsisten terutama di beberapa indikator kebebasan sipil.
Dalam diskusi secara terpisah dengan seorang profesor ilmu politik lembaga penelitian terkemuka dan petinggi media massa di negeri ini, kondisi ini dianggap sudah masuk ke fase memprihatinkan. Karena, negara secara konsisten membiarkan kondisi ini terjadi. Atau, dengan kata lain, by omission (pembiaran) oleh negara.
Padahal, dalam berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo selalu menegaskan komitmen kuatnya tehadap demokrasi.
Hanya, penilaian oleh Freedom House ini bukan berhenti di level kebijakan atau aturan semata, melainkan juga bagaimana implementasinya di lapangan. Sehingga, hasilnya memang lebih komprehensif dan sesuai dengan realita di lapangan.
Perhatian khusus pun perlu kita berikan kepada media massa. Media massa yang selama ini diagung-agungkan sebagai alat kontrol moral, dan pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif (trias politica-nya Montesquieu), dikhawatirkan ada yang mulai terkooptasi oleh tangan-tangan kekuasaan sehingga mengarah pada apa yang bisa disebut sebagai "humas" bagi kebijakan pemerintah (McNair:2011).
Tidak lagi menjadi sparring partner bagi pemerintah, dalam menelurkan kebijakan-kebijakan terbaik untuk masyarakat. Bahkan, ada yang mulai membatasi ruang untuk masyarakat dalam menyuarakan aspirasinya.
Meningkatnya peran para pendengung atau buzzer dalam lanskap politik kekinian pun, punya pengaruh besar terhadap daya kritis masyarakat sipil. Bahkan, mengancam kebebasan masyarakat sipil dalam menyampaikan pendapat berbeda.
Serbuan para pendengung alias buzzer pendukung opini atau kebijakan tertentu, bagaimanapun telah membuat repot berbagai pihak yang berbeda pendapat.
Pasukan siber ini membuat media sosial, yang pernah digembar-gemborkan sebagai kekuatan untuk kebebasan dan demokrasi, telah mendapat sorotan yang meningkat atas perannya dalam memperkuat disinformasi, menghasut kekerasan, dan menurunkan tingkat kepercayaan pada media dan institusi demokrasi (Bradshaw & Howard:2019).
Bahkan, muncul fenomena yang disebut doxing belakangan ini. Doxing diduga merupakan salah satu cara untuk membungkam kebebasan bersuara dan suara kritis publik yang dilakukan secara terstruktur dan terencana.