JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi Masyarakat Sipil menilai pendekatan pemidanaan dalam menangani wabah Covid-19 kontradiktif dengan keputusan pemerintah membebaskan narapidana demi mencegah penyebaran virus corona.
Peneliti Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati menuturkan, penangkapan yang dilakukan kepolisian dapat berujung pada penahanan.
Hal itu dapat meningkatkan potensi seorang tertular Covid-19 di rutan atau lapas.
"Ironis upaya kepolisian untuk menahan laju penyebaran Covid-19 malah berujung pada tindakan yang menempatkan orang di situasi rentan terkena Covid-19," kata Maidina melalui keterangan tertulis, Minggu (5/4/2020).
Baca juga: Napi yang Keluar dari Penjara Lewat Program Asimilasi Tak Boleh Keluar Rumah
Menurutnya, kebijakan yang represif tidak sesuai untuk menanggulangi persoalan kesehatan publik.
Lebih lanjut, Maidina mengatakan, kebijakan pemidanaan untuk mengatur masyarakat melakukan tindakan pencegahan Covid-19 malah berpotensi diskriminatif.
"Menggunakan hukum pidana untuk mengatur perilaku dan mencegah transmisi virus adalah langkah yang keliru. Sebab hal itu rentan sewenang-wenang, dengan alasan yang abu-abu, dan diskriminatif," ucapnya.
Baca juga: Langkah Hukum di Tengah Penanganan Wabah Covid-19, Ini Pelanggaran yang Dibidik Polri
Baru-baru ini, Koalisi Masyarakat Sipil mengkritik penangkapan yang dilakukan Polda Metro Jaya terhadap 18 pelanggar ketentuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Para tersangka dijerat dengan Pasal 93 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan/atau Pasal 218 KUHP.
Maidina menilai, penangkapan tersebut tidak memiliki dasar hukum karena belum ada penetapan PSBB untuk wilayah Jakarta oleh menteri kesehatan.
Menurutnya, Pasal 93 UU tentang Kekarantinaan Kesehatan yang disangkakan polisi kepada para tersangka membutuhkan penetapan status PSBB terlebih dahulu.
Baca juga: Polri Bakal Sanksi Siapa Pun yang Halangi Petugas Tangani Covid-19
"Menteri harus menetapkan PSBB sebagai upaya kekarantinaan kesehatan terlebih dahulu sebelum bisa memberlakukan Pasal 93 UU 6/2018," ucapnya.
"Polisi tidak bisa melakukan penangkapan ataupun menakuti-nakuti dengan ancaman pidana yang tidak berdasar," sambung dia.
Diberitakan sebelumnya, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia akan mengeluarkan dan membebaskan sekitar 30.000 narapidana dan anak-anak dari tahanan dalam rangka mencegah penyebaran virus Corona atau penyakit Covid-19.
Baca juga: Penghina Presiden dan Pejabat dalam Penanganan Covid-19 Terancam Sanksi Penjara
Ketentuan itu diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM bernomor M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.
Dalam kepmen tersebut, dijelaskan bahwa salah satu pertimbangan dalam membebaskan para tahanan itu adalah tingginya tingkat hunian di lembaga pemasyarakatan, lembaga pembinaan khusus anak, dan rumah tahanan negara sehingga rentan terhadap penyebaran virus corona.
"Pengeluaran dan pembebasan narapidana dan anak melalui asimilasi dan integrasi adalah upaya pencegahan dan penyelamatan narapidana dan anak yang berada di Lembaga Pemasyarakatan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak, dan Rumah Tahanan Negara dari penyebaran Covid-19," bunyi diktum pertama Keputusan Menkumham tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.