JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ( YLBHI) M Isnur mengatakan, narapidana kasus korupsi bukan prioritas untuk dikeluarkan dari penjara dalam rangka mencegah penularan Covid-19.
Isnur mengatakan, narapidana yang selama ini tinggal berhimpit-himpitan di satu sel seharusnya menjadi prioritas.
Sementara narapidana kasus korupsi bebas dari kondisi berhimpitan karena memiliki sel sendiri-sendiri.
"Harusnya yang lebih diutamakan yang overcrowd, di mana satu blok, satu ruangan tahanan desak-desakan, itu yang diutamakan gitu. Perbedaan itu harus dilihat juga dengan kondisi realnya. seolah-olah sama kondisi ini, enggak juga," kata Isnur dalam konferensi pers, Kamis (2/4/2020).
Baca juga: Wacana Yasonna Bebaskan Koruptor untuk Cegah Covid-19 di Penjara
Isnur mengatakan, Pemerintah justru bersikap diskriminatif jika membebaskan para narapidana korupsi.
Sebab, kata Isnur, para narapidana korupsi mendapat keistimewaan selama mereka ditahan.
Ia mencontohkan narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin yang tinggal di sel sendiri dan berada di area yang berbeda dengan narapidana tindak pidana lainnya.
"Mereka di kamar terisolasi, tidak seperti di Rutan Cipinang atau Salemba yang bahkan tidur pun enggak bisa gitu, harus gantian tidur, per empat jam gantian gitu. Jadi argumentasi bahwa napi koruptor itu sama, ternyata berbeda," ujar Isnur.
Peneliti Indonesia Corruption Watch ( ICW) Kurnia Ramadhana menambahkan, pembebasan narapidana kasus korupsi bukan merupakan solusi atas kepadatan lebaga pemasyarakatan.
Sebab, data ICW pada 2018 lalu menunjukkan bahwa jumlah narapidana kasus korupsi hanya 1,8 persen dari total seluruh narapidana di Indonesia yakni 4.452 orang napi korupsi dari total 248.630 narapidana secara umum.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan