Para pemimpin agama hendaknya diajak bersama untuk berbicara dalam bahasa kesalehan yang mudah dimengerti. Mereka kita harapkan mengajak ummat untuk menghindari ritual massal dan perkumpulan-perkumpulan.
NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah sudah memberi contoh, menunda muktamar besar mereka. Namun, banyak organisasi keagamaan di luar arus utama itu dan banyak kelompok di luar kendali kekuatan besar.
Buktinya, masjid-masjid masih banyak yang beroperasi tanpa mempertimbangkan protokoler jarak antar jemaah. Seruan lebih intensif mungkin diperlukan.
MUI (Majelis Ulama Indonesia) diperlukan dalam memberi dalil agamis dengan isi peringatan agar menjaga jarak antarindividu. Gereja, kapel, pura, wihara, dan tempat-tempat ibadah lain hendaknya juga dilibatkan dalam seruan ini.
Masyarakat pragmatis
Disamping komunalitas dan agamisnya, masyarakat Indonesia juga ditengarai pragmatis. Karakter itu bisa dijumpai dalam dimensi agama dan politik.
Pragmatisme ditandai dengan mengutamakan nilai guna daripada idealitas. Dalam politik kita, terutama setelah demokrasi langsung dalam banyak gawe politik, para pemilih terkesan pragmatis, tidak idealis.
Pemilu dan pilkada berjalan dengan memegang pragmatisme massa. Sudah menjadi rahasia umum, karena diperbincangkan tidak hanya di forum ilmiah, tetapi juga di warung-warung kopi, gardu-gardu ronda, dan tongkrongan lain.
Masyarakat kita mudah tergoda untuk menerima amplop dari para kandidat peserta laga pilihan lokal dan nasional, baik eksekutif atau pun legislatif.
Bahkan diskusi terbuka rata-rata menghitung berapa jumlah per amplop yang diterima dari para pemilih sebelum pergi ke bilik pencoblosan.
Pragmatisme ini terlihat juga dalam banyak keputusan politis sekala kecil dan besar, tidak hanya dalam hal memilih kandidat pemimpin.
Watak pragmatisme lain bisa dilhat pada perkawinan antara agama dan konsumerisme. Ini tentu menguntungkan pasar ekonomi bagi yang menangkap itu sebagai peluang.
Banyak usaha bisnis sukses karena dikaitkan dengan faktor sentimen keimanan: biro perjalanan ziarah ke tempat suci, pemasaran pakaian simbol ketaatan, obat-obatan dan mantra-mantra penyembuhan, dan lain-lain.
Toko laris di kota-kota besar terlihat pada produk fashion ke arah kesalehan. Di bandara-bandara seluruh negeri penuh sesak dengan penumpang tujuan ziarah ke Tanah Suci. Ini adalah perkawinan baru di era global, agama dan pasar ekonomi.
Pragmatisme melahirkan kelenturan dan ini kesempatan bagi mitigasi penyebaran virus corona.
Pertimbangan-pertimbangan ekonomi jangka pendek dan panjang bisa diterangkan kepada masyarakat, bahwa jika virus ini mengamuk dan menjangkiti warga, siapa yang akan menggerakkan roda ekonomi kita?
Efek ekonomi dari berbagai sektor, swasta ataupun negeri hendaknya dijelaskan dengan mudah.
Jika pemerintah China menerapkan total lockdown dalam melawan virus corona, negara-negara Eropa dengan caranya sesuai dengan struktur dan disiplin warganya, Amerika juga sesuai pilihan politis Donald Trump, Indonesia hendaknya bijak tetapi tegas.
Kita pasti bisa. Lebih baik mencegah daripada mengobati. (Al Makin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.