JAKARTA, KOMPAS.com - Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis mengatakan, seluruh jajarannya akan mengedepankan pendekatan preventif dan humanis ke masyarakat dalam upaya pencegahan penyebaran penyakit Covid-19.
Hal ini disampaikan Idham dalam rapat kerja dengan Komisi III melalui konferensi video, Selasa (31/3/2020).
"Sampai saat ini, Polri masih mengedepankan upaya preventif dengan tindakan-tindakan humanis, serta belum ada yang kita lakukan proses hukum lanjut, karena alhamdulillah masyarakat kita di Indonesia ini, masih patuh terhadap imbauan polri," kata Idham.
Baca juga: Kapolri: Ada 11.145 Kegiatan Pembubaran Massa Selama Penanganan Covid-19
Idham mengatakan, polri dalam melakukan pendekatan dalam upaya pencegahan Covid-19 sesuai Maklumat Kapolri Nomor Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona ( Covid-19).
Adapun, dalam rapat yang dipimpin Ketua Komisi III DPR Herman Hery tersebut, Azis menyampaikan laporan kegiatan jajarannya, selama pandemi Covid-19.
Mulai dari pembubaran acara yang melibatkan masa, edukasi publik, menangkap penyebar hoaks virus corona hingga mendukung kebijakan darurat sipil yang akan diberlakukan.
Dukung darurat sipil
Azis mengatakan, Kapolri akan mendukung setiap kebijakan pemerintah termasuk kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan melibatkan darurat sipil.
Menurut dia, kebijakan tersebut juga sejalan dalam Maklumat Kapolri terkait penanganan penyebaran virus corona.
Oleh karenanya, jajaran kepolisian akan melakukan tindakan sesuai dengan arahan dari pemerintah pusat.
"Namun sampai hari ini, berdasarkan hasil rapat terbatas kemarin, dan tadi sebelum kita RDP belum diputuskan apa yang menjadi kebijakan pemerintah," kata dia.
Baca juga: Kapolri Laporkan 18.935 Edukasi Publik Selama Pandemi Covid-19
Kendati demikian, anggota-anggota Komisi III mempertanyakan, mengapa muncul opsi kebijakan darurat sipil dari presiden dengan mengacu pada Perppu Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Keadaan Bahaya.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman mengatakan, pasal-pasal di dalam Perppu tersebut sudah tidak relevan.
"Hanya di pasal 19 yang dikatakan penguasa bisa berhak melarang orang keluar rumah. Yang (pasal) lain sudah tidak relevan. Bahkan, banyak sekali institusi yang diatur di UU itu yang sekarang enggak ada," kata Habiburokhman.
Menurut dia, syarat-syarat status darurat sipil dalam Perppu Nomor 23 Tahun 1959 ini tidak mendekati kondisi yang tengah dialami Indonesia.
Payung hukum yang paling relevan, lanjut dia, adalah UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Oleh karenanya, ia menyarankan, Kapolri menyampaikan hal tersebut kepada presiden.
"Yang paling relevan dan sebagian sudah dilakukan pemerintah adalah gunakan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan kesehatan. Itu banyak sekali pasal relevan," ucapnya.
Baca juga: Habiburokhman Sarankan Jokowi Tak Terapkan Darurat Sipil
Adapun Idham Azis mengatakan, selaku penegak hukum, jajaran Polri tidak memiliki kapasitas untuk menyampaikan hal tersebut kepada presiden.
"Tentang darurat sipil yang bapak tanyakan, saya rasa polri tidak dalam kapasitas dalam memberikan komentar atau tanggapan. Saya sebagai aparat penegak hukum saya sami'na wa athona kepada pemerintah Indonesia," kata Idham.
Pembubaran massa
Sejak terjadi dua kasus Warga Negara Indonesia (WNI) yang terinfeksi virus corona, jajaran kepolisian ikut dalam melakukan pencegahan penyebaran Covid-19.
Idham melaporkan, ada 11.145 kegiatan pembubaran massa selama penanganan pandemi virus corona di tanah air.
Selain itu, tercatat 18.935 kegiatan kepolisian guna mengedukasi masyarakat terkait Covid-19 dan melakukan penyemprotan disinfektan sebanyak 7.125 kegiatan.
"Edukasi kepada masyarakat telah dilaksanakan sebanyak 18.935 kegiatan, publikasi humas/imbauan kepada masyarakat sebanyak 35.954 kegiatan, pembubaran massa 11.145 kegiatan," ujarnya.
Baca juga: Pembatasan Sosial Berskala Besar, Jokowi Tegaskan Polri Bisa Ambil Langkah Hukum
Menurut dia, masyarakat yang melanggar kebijakan pemerintah dalam masa darurat Covid-19 ini, dapat dikenakan sanksi mengacu pada UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan KUHP.
Namun, hingga saat ini, belum ada catatan soal proses hukum terhadap masyarakat yang melakukan pelanggaran, seperti dalam kegiatan berkerumun.
Menangkap penyebar berita hoaks
Sementara itu, tim Cyber Bareskrim Polri dalam pemberantasan hoaks terkait virus corona mencatat ada 51 kasus hoaks dengan 51 tersangka.
"Kemudian, dari tanggal 2 sampai 27 Maret telah melakukan penyelidikan terhadap 153 informasi, memblokir 38 akun, monitoring 59 akun, pelimpahan 31 akun, dan penindakan lebih lanjut terhadap 25 akun," papar Idham.
Baca juga: Polisi Kini Tangani 63 Kasus Penyebaran Hoaks soal Virus Corona
Tak hanya itu, Idham menjelaskan, Polri menggelar kegiatan penegakan hukum terhadap penimbun bahan pangan serta alat pelindung diri (APD) tenaga kesehatan.
Saat ini, kata dia, Polri menangani 15 kasus penimbunan pangan. Sementara itu, ada 18 kasus penimbunan APD.
Selektif dalam penahanan
Lebih lanjut, Idham sudah mengeluarkan kebijakan, agar jajaran kepolisian selektif dalam melakukan penahanan di tengah wabah Covid-19.
Sebab, daya tampung tahanan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan) sudah berlebih, sehingga sulit menerapkan physical distancing.
"Memang sejak awal saya sudah mengeluarkan kebijakan. Penahanan dilakukan hanya dalam keadaan sangat-sangat upaya terakhir, itu kita sudah lakukan," tuturnya.
Baca juga: Koruptor dan Teroris Tak Termasuk Napi yang Dibebaskan Terkait Wabah Corona
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly, lanjut dia, sudah mengeluarkan kebijakan dengan mengeluarkan 30.000 tahanan untuk pencegahan penularan virus corona.
"Bahkan, di lapas berdasarkan ratas kemarin, bapak Menkum HAM sendiri sudah minta izin kepada Presiden untuk mengeluarkan hampir 30. 000 tahanan di seluruh Indonesia dengan klasifikasi kejahatan itu tersebut," pungkasnya.