Pertama, kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU.
"Pasal 201 Ayat 6 UU Pilkada mengatakan, Pilkada September 2020 sehingga hampir bisa dikatakan kalau tidak mungkin dilaksanakan, timbul masalah. Tapi harus diselesaikan secara UU, KPU tidak bisa keluarkan UU sehingga harus dikeluarkan Perppu," kata Feri.
Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada UU tapi tidak menyelesaikan masalah.
UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, kata dia, tak menyelesaikan masalah karena tidak memiliki ayat-ayat yang memberikan alternatif proses penyelenggaraan pilkada apabila terjadi bencana dengan waktu yang tidak pasti.
Ketidakpastian yang dimaksud adalah soal pandemi Covid-19 yang tidak memiliki kepastian kapan akan berakhir.
Baca juga: Pemerintah Diminta Segera Rumuskan Perppu untuk Tunda Hari Pencoblosan Pilkada 2020
Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan membuat UU melalui prosedur biasa karena memakan waktu.
"Padahal kata putusan MK, keadaan mendesak perlu diselesaikan seketika itu. Kita perlu kepastian agar problematika bisa diselesaikan dan penyelenggara bisa memikirkan hal-hal lain untuk proses penyelenggaraan ke depannya," kata dia.
Oleh karena itu, ketiga syarat tersebut sudah memungkinkan untuk Presiden menyatakan bahwa telah ada hal ihwal kegentingan memaksa.
Dengan demikian, diperlukan perppu untuk menyelamatkan proses penyelenggaraan pilkada.
"Sejauh ini saya tidak melihat ada potensi DPR bisa mengganti posisi perppu," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.