JAKARTA, KOMPAS.com - Evi Novida Ginting Manik dipecat dari jabatannya sebagai Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena dinilai melanggar kode etik penyelenggara pemilu.
Selain itu, sanksi berupa peringatan keras terakhir juga dijatuhkan kepada ketua dan empat komisioner KPU lainnya.
Sanksi ini berkaitan dengan kasus perselisihan perolehan suara calon anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat daerah pemilihan Kalimantan Barat 6 dari Partai Gerindra yang melibatkan caleg Hendri Makaluasc dan Cok Hendri Ramapon.
"Menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada Teradu VII Evi Novida Ginting Manik selaku Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia sejak putusan ini dibacakan," kata Plt Ketua DKPP Muhammad saat membacakan putusan perkara dalam sidang yang digelar di gedung DKPP, Jakarta Pusat, Rabu (18/3/2020).
Baca juga: KPU Harap Pemecatan Komisioner Evi Novida Tak Ganggu Pilkada 2020
Pengadu dalam perkara ini adalah Hendri Makaluasc. Ia mendalilkan bahwa perolehan suaranya pada pileg berkurang karena telah digelembungkan ke caleg Gerindra lainnya, Cok Hendri Ramapon.
Atas hal tersebut, Hendri menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Ia menuding bahwa KPU tak menjalankan putusan MK dan Bawaslu karena hanya mengoreksi perolehan suaranya tanpa ikut mengoreksi perolehan suara Cok Hendri Ramapon.
Setelah melalui serangkaian persidangan pemeriksaan, DKPP menilai bahwa Evi beserta ketua dan komisioner KPU lainnya tidak memahami dan melaksanakan putusan MK.
Baca juga: Putusan DKPP soal Peringatan Keras Terakhir ke Komisioner KPU Dinilai Mengancam
Hal ini berakibat pada kerugian hak-hak konstitusional pengadu yang tidak lain adalah Hendri Makaluasc.
"Tindakan Teradu I sampai dengan Teradu VII terbukti mendistorsi perolehan suara pengadu sebanyak 5.384 sehingga tidak ditetapkan sebagai calon terpilih," ujar Anggota DKPP Teguh Prasetyo.
Meskipun pelaksanaan tugas dan wewenang KPU bersifat kolektif kolegial, hukuman yang diberikan kepada Evi lebih berat lantaran ia bertanggung jawab dalam teknis penyelenggaraan pemilu, termasuk dalam perselisihan hasil pemilu.
Sebagai Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan dan Logistik Pemilu, Evu memiliki tanggungjawab etik lebih besar atas ketidakpastian hukum dan ketidakadilan akibat penetapan hasil pemilu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan validitas dan kredibilitasnya.
Sehari setelah DKPP menerbitkan putusan, KPU mengumumkan sejumlah pembelaan dan rencana mereka ke depan. Seperti apa pembelaan dan rencana tersebut?
Baca juga: Komisi II Akan Panggil DKPP, KPU, dan Bawaslu Terkait Pemecatan Evi Novida
1. Bantah ubah hasil pemilu
KPU menegaskan bahwa Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik tak pernah berinisiatif atau memerintahkan perubahan perolehan suara calon anggota legislatif Partai Gerindra daerah pemilihan Kalimantan Barat, Hendri Makaluasc.
Secara institusional, KPU juga mengaku tak pernah mengubah perolehan hasil suara di pemilu legislatif.
"Dalam kasus ini anggota KPU RI Evi Novida Ginting Manik sama sekali tidak berinisiatif, atau memerintahkan, atau mengintervensi, atau mendiamkan terjadinya perubahan perolehan suara tersebut," kata Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi saat konferensi pers di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (19/3/2020).
Pramono mengatakan, putusan DKPP ini muncul karena adanya dua putusan yang berbeda dari MK dan Bawaslu terkait sengketa hasil pemilu Hendri Makaluasc.
Putusan MK memerintahkan KPU untuk mengoreksi perolehan suara Hendri Makaluasc, tanpa perintah koreksi perolehan suara Cok Hendri Ramapon.
Sedangkan Bawaslu memerintahkan KPU untuk mengoreksi perolehan suara Hendri Makaluasc serta Cok Hendri Ramapon.
Baca juga: KPU Tunjuk Hasyim Asyari Jadi Pengganti Sementara Evi Novida
Atas dasar itu, KPU pun memutuskan untuk menjalankan putusan MK karena putusan MK bersifat final dan mengikat.
"Kan seharusnya tidak ada banding atau apa lagi terhadap putusan MK," ujar Komisioner KPU Evi Novida yang juga hadir dalam konferensi pers.
"Dan tidak ada satu lembaga pun berhak menafsirkan putusan MK, yang berhak itu cuma MK sendiri. Jadi kan kita menjalankan bukan sebagai lembaga penafsir putusan MK," lanjutnya.
2. Tak berdasar
Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik pun mengaku keberatan atas putusan DKPP tersebut.
Menurut Evi, DKPP sebenarnya sudah tidak punya dasar untuk mengadili perkara yang diajukan oleh Hendri Makaluasc.
Sebab, Hendri telah mencabut gugatannya pada 13 November 2019, setelah sebelumnya mengajukan gugatan pada 18 Oktober 2019.
Baca juga: KPU Sebut Komisioner Evi Novida Tak Pernah Ubah Hasil Pemilu
"Pencabutan pengaduan karenanya mengakibatkan DKPP tidak mempunyai dasar untuk menggelar peradilan etik lagi dalam perkara ini," kata Evi di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (19/3/2020).
Menurut Evi, pencabutan gugatan secara langsung disampaikan Hendri Makaluasc saat persidangan di hadapan Majelis Hakim DKPP.
Kepada majelis, Hendri juga telah menyampaikan alasan-alasannya mencabut gugatan.
Evi berpandangan, dengan dicabutnya perkara tersebut oleh penggugat, tidak ada lagi pihak yang merasa dirugikan.
Dengan tidak adanya pihak yang merasa dirugikan, DKPP dinilai tak punya wewenang untuk mengadili dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.
Baca juga: Dipecat, Komisioner KPU Evi Novida Akan Gugat Putusan DKPP ke PTUN
Sebab, kata Evi, DKPP hanya memiliki kewenangan secara pasif untik mengadili perkara, sehingga tak bisa secara aktif memeriksa dugaan pelanggaran jika tak ada laporan.
"Ini sudah melampaui kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 kepada DKPP sebagai lembaga peradilan etik yang pasif," ujar dia.
3. Cacat hukum
Putusan terkait perkara ini juga dinilai cacat hukum.
Evi mengatakan, putusan itu diambil dalam rapat pleno yang hanya beranggotakan empat anggota DKPP. Padahal, jumlah kuorum pengambilan putusan seharusnya dihadiri lima orang anggota.
"Putusan ini cacat hukum, akibatnya batal demi hukum dan semestinya tidak dapat dilaksanakan," kata Evi di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis.
Baca juga: Komisioner KPU Evi Novida Sebut DKPP Tak Punya Dasar Mengadili Perkara yang Sudah Dicabut
Ketentuan mengenai kuorum pengambil keputusan diatur dalam Pasal 36 Ayat 2 Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2019.
Pasal itu berbunyi, "Rapat Pleno Putusan dilakukan secara tertutup yang dihadiri oleh 7 (tujuh) orang anggota DKPP, kecuali dalam keadaan tertentu dihadiri paling sedikit 5 (lima) orang anggota DKPP.
Oleh karenanya, Evi menilai putusan berupa sanksi pada dirinya tidak sah secara hukum.
4. Gugat ke PTUN
Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik pun berencana menggugat putusan DKPP ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Evi berencana melayangkan gugatan dalam waktu dekat, setelah ia dan komisioner KPU lain selesai mempelajari putusan DKPP.
Baca juga: Tak Kuorum, Komisioner KPU Evi Novida Sebut Putusan DKPP Cacat Hukum
"(Mengajukan gugatan) ke PTUN. Begitu selesai (mempelajari) akan didaftarkan, ya mungkin tiga hari ke depan selesainya," kata Evi.
5. Tak ganggu Pilkada
Putusan DKPP itu diharapkan tak berdampak pada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020.
KPU berharap, tahapan Pilkada tetap dapat berjalan sebagaimana yang telah dijadwalkan.
"KPU berharap kejadian ini tidak mempengaruhi persiapan tahapan pemilihan (kepala daerah) 2020," kata Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi dalam konferensi pers di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis.
Baca juga: Komisioner KPU Evi Novida Dipecat, DPR: Integritas Penyelenggara Pemilu Perlu Dikawal
Pramono mengatakan, pasca-putusan DKPP itu terbit, pihaknya telah menginstruksikan kepada seluruh jajaran KPU di provinsi dan kabupaten/kota untuk tetap fokus menjalankan tahapan Pilkada.
Ia menyebut bahwa KPU menghormati putusan DKPP yang juga memberi sanksi berupa peringatan keras kepada lima komisioner KPU itu.
Namun demikian, KPU masih memerlukan waktu untuk mempelajari putusan yang diterbitkan pada Rabu (18/3/2020) ini.
"KPU menghormati putusan DKPP tersebut dan akan mempelajari dengan seksama serta melakukan kajian yang mendalam untuk melihat berbagai kemungkinan, kebijakan yang dapat diambil KPU ke depan," kata Pramono.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.