JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Evi Novida Ginting Manik menilai, putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) berupa sanksi "peringatan keras terakhir" pada lima komisioner KPU menjadi ancaman tersendiri.
Sanksi tersebut menyebabkan para komisioner menjadi tidak tenang dalam menjalankan tugas-tugas penyelenggaraan kepemiluan.
"Apa yang sekarang ini dialami oleh lima anggota KPU RI yang mendapatkan sanksi peringatan keras terakhir menurut saya adalah sebuah bentuk ancaman bagi KPU RI dalam menjalankan tugas-tugas penyelenggaraan pemilu," kata Evi kepada wartawan, Kamis (19/3/2020).
Baca juga: Komisi II Akan Panggil DKPP, KPU, dan Bawaslu Terkait Pemecatan Evi Novida
Evi mengatakan, sanksi menjadi ancaman karena jika komisioner kembali dinilai melanggar kode etik penyelenggara pemilu, maka bukan tidak mungkin DKPP bakal memberlakukan sanksi berupa pemecatan.
Padahal, saat ini, KPU tengah fokus mempersiapkan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020.
"Penyelenggara pemilu harus bisa bekerja tenang dan tidak selalu merasa terancam untuk dipecat," ujar dia.
Evi pun mengaku keberatan atas putusan itu, termasuk keberatan terhadap sanksi pemecatan yang diberikan DKPP kepada dirinya.
Baca juga: KPU Tunjuk Hasyim Asyari Jadi Pengganti Sementara Evi Novida
Ia menilai, putusan DKPP berlebihan. Sebab, pengadu perkara yang dalam hal ini merupakan calon legislatif Partai Gerindra daerah pemilihan Kalimantan Barat 6, Hendri Makaluasc, telah mencabut pengaduannya per tanggal 13 November 2019.
Sehingga, menurut dia, seharusnya tidak ada lagi pihak yang dirugikan dalam perkara ini.
Evi juga menyebut bahwa DKPP hanya memiliki kewenangan pasif untuk mengadili pelanggaran kode etik.
Artinya, ia tidak berwenang melakukan pemeriksaan etik bila tidak ada pihak yang dirugikan dan mengajukan pengaduan.
Baca juga: KPU Sebut Komisioner Evi Novida Tak Pernah Ubah Hasil Pemilu
Digelarnya peradilan etik oleh DKPP tanpa adanya pihak yang dirugikan, kata Evi, telah melampaui kewenangan yang diberikan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 kepada DKPP sebagai lembaga peradilan etik.
Selain itu, Evi juga menilai bahwa putusan DKPP tersebut cacat hukum karena diambil dalam rapat pleno yang hanya beranggotakan empat anggota DKPP.
Padahal, jumlah kuorum pengambilan putusan seharusnya dihadiri lima orang anggota.
"Putusan ini cacat hukum, akibatnya batal demi hukum dan semestinya tidak dapat dilaksanakan," ujar Evi.
Baca juga: Komisioner KPU Evi Novida Sebut DKPP Tak Punya Dasar Mengadili Perkara yang Sudah Dicabut