JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar memberikan keterangan sebagai ahli dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (12/3/2020).
Zainal berkomentar tentang dalil penggugat yang menyebut bahwa keberadaan wakil menteri di pemerintahan Presiden Joko Widodo merupakan bentuk pemborosan anggaran negara.
Menurut Zainal, dalil tersebut tidak dapat dibenarkan selama keberadaan wakil menteri memang dibutuhkan oleh presiden.
"Walaupun pada saat yang sama saya juga berpikir bahwa ada kerangka tentang pemborosan ini, pengadaan suatu jabatan yang diperlukan tidaklah mungkin bisa dianggap sebagai pemborosan," kata Zainal melalui video telekonferensi yang ditampilkan dalam ruang sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis.
"Kalau memang dia diperlukan maka tidak mungkin dianggap sebagai pemborosan," tuturnya.
Baca juga: Sidang Uji Materi, Hakim MK Pertanyakan Wakil Menteri yang Rangkap Jabatan
Zainal mengatakan, menjadi kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan untuk menguatkan pemerintahan yang ia pimpin.
Artinya, Presiden punya wewenang untuk mengisi lembaga pemerintah menurut konsep yang ia bayangkan.
Ini termasuk membentuk struktur wakil menteri jika jabatan itu dinilai dibutuhkan.
Jikapun hal itu dinilai inefisien, bukan berarti jabatan tersebut harus dibubarkan.
Zainal mencontohkan, misalnya kinerja DPR atau DPD tidak efisien, maka hal itu tidak dapat digunakan sebagai alasan kedua lembaga tersebut dibubarkan. Sebab, kedua lembaga itu sifatnya penting.
Seharusnya, kata Zainal, yang diperbaiki adalah orang-orang yang menduduki jabatan tersebut.
"Bahwa praktik yang terjadi boleh jadi keliru, apalagi kalau kita lihat di struktur wamen sekarang memang ada beberapa wamen yang dalam penafsiran saya tidak memiliki kapasitas khusus apalagi mungkin soal integritas, kapabilitas dan acceptabilitas," ujar Zainal.
"Tapi tidak berarti bisa dibawa untuk menguji konstitusionalitas pengangkatan oleh presiden," tuturnya.
Zainal melanjutkan, dalam melihat ada tidaknya pemborosan terkait hal ini, seharusnya dikaitkan dengan kerangka kebijakan presiden, bukan kerangka konstitusional.
Seandainya langkah yang diambil presiden mengindikasikan inefisiensi anggaran, pengujian yang bisa dilakukan lebih bersifat khusus, misalnya di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).