Menurut dia, penyebabnya adalah konstruksi organisasi NU tidak banyak berubah sejak 1952. Gus Yahya mengatakan, pola pikir para pengurus NU hingga kini masih seperti partai politik.
"Ini karena memang kedodoran konstruksi organisasi, jamiyah NU. Karena sejak 1952 ketika NU jadi parpol sampai hari ini, konstruksi organisasi tidak berubah," kata dia.
Gus Yahya mengatakan upaya penyesuaian yang sudah dilakukan NU tampaknya belum terlalu berhasil. Pola hubungan NU sebagai jamiyah atau organisasi kepada jemaah masih sama seperti dulu.
"Sudah ada upaya penyesuaian, tapi masih sangat kurang. Basis konstruksi masih 1952," ujarnya.
Baca juga: Gus Yahya: Saya Tidak Tahu Kenapa Dipilih Jadi Anggota Wantimpres...
Oleh karena itu, Gus Yahya menyatakan, perlu ada reformasi di tubuh NU. Tidak hanya reformasi kestrukturan, tetapi juga reformasi pola pikir.
"Ini perlu reformasi tersendiri. Tidak hanya reformasi struktur formal. Tapi juga reformasi mindset. Perlu ada perubahan pola pikir, bahkan mental," kata Gus Yahya.
Gagasan yang ia miliki adalah mengubah konstruksi organisasi NU seperti pemerintahan. Artinya, jamiyah NU sebagai pemerintah dan jemaah NU sebagai warga.
Baca juga: Ketua PBNU Apresiasi Kebijakan Penghentian Sementara Ibadah Haji dan Umrah, Berikut Alasannya
Menurut Gus Yahya, konstruksi ini paling ideal karena warga NU bukan berdasarkan keanggotaan terikat.
"Karena kenyataannya kita tidak punya keanggotaan. Kalau manajemen organisasi asumsinya anggota dalam kontrol organisasi. Anggota itu tanda tangan kesetiaan taat organisasi. Apapun harus ikut. Itu nalar organisasi," tuturnya.
"NU kan enggak begitu. Karena warga bukan keanggotaan yabg terdaftar. Warga adalah kesertaan yang longgar," tutur Gus Yahya.