Di samping itu, kuasa hukum Nurhadi dkk juga mempersoalkan penetapan tersangka yang hanya didasarkan pada Laporan Kejadian Tindak Pidana Korupsi tanpa memeriksa Nurhadi dkk sebagai "calon tersangka".
"Penyidikan penetapan tersangka kepada Pak Nurhadi dan kawan-kawan itu hanya didasarkan pada laporan tindak pidana korupsi yang kita anggap laporan itu sama seperti laporan polisi, sehingga belum ada dilakukan proses penyidikan. Oleh karena itu, ini tidak sesuai dengan hukum acara," ujar Ignatius.
Baca juga: Nurhadi dan Harun Masiku Mau Diadili In Absentia, Haris Azhar: Itu Pelarian KPK...
Selanjutnya, kuasa hukum juga menilai uang sejumlah total Rp 33.334.995.000 yang ditransfer Hiendra ke Rezky bukan tindak pidana korupsi, melainkan hubungan keperdataan.
"Peristiwa-peristiwa yang disangkakan itu sebenarnya merupakan peristiwa perdata murni karena itu merupakan hbunngan hukum antara Rezky dengan Pemohon 3, Pak Hiendra Soenjoto," kata Ignatius.
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango berharap hakim PN Jakarta Selatan menolak praperadilan yang diajukan Nurhadi dkk tersebut.
Nawawi mengatakan, hakim mestinya dapat menolak gugatan karena Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018 menyatakan, tersangka yang melarikan diri atau masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) tak bisa mengajukan praperadilan.
"SEMA itu kan (SEMA Nomor) 1 (Tahun) 2018 kalau tak keliru, seyogianya tidak menerima praperadilan yang diajukan oleh mereka yang sudah dalam status DPO," kata Nawawi di PN Jakarta Selatan, seusai sidang.
Nawawi yang berlatar belakang sebagai hakim itu menuturkan, walaupun tercantum dalam surat edaran MA, ketentuan soal buronan tak bisa ajukan praperadilan itu hanya bersifat imbauan yang tidak wajib diikuti oleh para hakim.
Baca juga: KPK Harap Praperadilan Nurhadi Cs Ditolak karena Status DPO