Ketua DPP Partai Nasdem Willy Aditya menegaskan pernyataan sang ketua umum. Ia menjelaskan klaster tentang ketenagakerjaan di omnibus law RUU Cipta Kerja sebaiknya dihapus dari draf.
Sebab, kata dia, klaster ketenagakerjaan ini menjadi sumber utama penolakan publik atas RUU Cipta Kerja.
"Apa yang salah adalah klaster ketenagakerjaan. Kan ada 11 klaster dalam omnibus law itu. Kalau seandainya presiden mau melakukan 100 hari, maka lebih baik klaster ketenagakerjaan ditangguhkan (ditunda) saja," kata Willy, Senin (9/3/2020).
Baca juga: Surya Paloh Instruksikan Seluruh Kader Nasdem Dukung RUU Omnibus Law
Menurut dia, jika klaster ketenagakerjaan dihapus, target penyelesaian 100 hari yang diinginkan Jokowi menjadi sangat mungkin.
Willy mengatakan, klaster tentang ketenagakerjaan bisa digabungkan dengan revisi UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Nomor 2 Tahun 2004 yang juga masuk daftar Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2020.
"Nanti klaster itu (ketenagakerjaan) dimasukkan saja ke UU PPHI yang masuk ke Prolegnas Prioritas 2020," tuturnya.
"Ketika itu terjadi, nama bisa berubah jadi 'RUU Kemudahan Investasi dan Perizinan'. Itu yang dimaksud Pak Surya (Surya Paloh)," kata Willy.
Baca juga: RUU Cipta Kerja Dinilai Hanya Berpihak pada Investor, Bukan Kepentingan Masyarakat
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura mengatakan, omnibus law RUU Cipta Kerja hanya menitikberatkan pada kepentingan ekonomi.
Menurut Charles, tidak ada pertimbangan keadilan dan kesejahteraan sosial dalam rancangan undang-undang tersebut.
"Ketika kita melihat bagian penjelasannya sangat ekonomisentris, bukan kesejahteraan. Jadi hanya bicara pertumbuhan ekonomi tanpa bicara keadilan sosial dan kesejahteraan," kata Charles di Jakarta, Kamis (5/3/2020).
Baca juga: Serikat Pekerja: Buat Apa Investor kalau Nasib Rakyat Semakin Sulit?