Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Neni Nur Hayati
Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership

Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia. Anggota Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Netralitas ASN dalam Pilkada 2020

Kompas.com - 05/03/2020, 17:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENJELANG pelaksanaan Pilkada 2020 yang akan digelar secara serentak di 270 daerah pada 23 September mendatang, isu netralitas aparatur sipil negara (ASN) kerap menjadi sorotan.

Geliat dan mobilisasi ASN seperti abring–abringan (berbondong-bondong) serta unggahan di media sosial tampak terlihat dalam memberikan dukungan kepada petahana yang akan kembali mencalonkan.

Tak hanya itu, beberapa ASN di sejumlah daerah juga ada yang memasang alat peraga sosialisasi dalam bentuk baligho serta spanduk dengan mempromosikan dirinya sebagai bakal calon kepala daerah.

Jika merujuk Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 16 Tahun 2020 tentang tahapan, program dan jadwal penyelenggaraan pilkada, pada pertengahan Juni, KPU akan membuka pendaftaran pasangan calon dari partai politik dan/atau gabungan partai politik.

Tahapan pencalonan ini dinilai menjadi salah satu titik rawan netralitas ASN. Tidak dapat dimungkiri bahwa beberapa kasus ketidaknetralan ASN dalam Pilkada terutama memasuki tahapan pencalonan dan kampanye selalu marak terjadi.

Pasalnya, ASN memiliki posisi yang cukup strategis untuk menjadi mesin politik pemenangan kandidat pasangan calon karena dapat mendulang suara (Gusman, 2017). Bahkan, kekuatan ASN dapat mengalahkan soliditas partai politik pengusung.

Keterlibatan ASN yang cukup kuat dalam memberikan dukungan kepada petahana, setidaknya dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, iming-iming naik jabatan atau naik promosi ketika nantinya terpilih.

Menurut Sri Hartini (2014), implikasi ketidaknetralan adalah penempatan jabatan karena kepentingan politik yang tidak berdasar kompetensi, namun lebih karena faktor mariage system bukan merit system. Kedua, posisi ASN yang cenderung dilematis.

Satu sisi dituntut untuk bekerja secara profesional. Sisi lain, posisi ASN sebagai bawahan tidak bisa melawan instruksi atasan.

Sebenarnya, isu menyangkut netralitas birokrasi ini telah ada sejak era Orde Baru, yang kita kenal dengan "monoloyalitas".

Kemenangan Golkar pada saat itu adalah karena peranan birokrasi negara yang memiliki kepanjangan otoritas hingga ke desa-desa untuk meraih kemenangan.

Di era reformasi saat ini, politisasi birokrasi pemerintahan masih terus berlangsung. Maka tak heran, apabila jumlah dugaan pelanggaran netralisas ASN dari pilkada ke pilkada meningkat signifikan.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Jawa Barat mencatat, tren pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara di pilkada serentak gelombang pertama menempati urutan ketiga.

Di pilkada serentak tahun 2017, tren pelanggaran netralitas ASN naik menjadi urutan pertama. Adapun pada pilkada serentak 2018, Bawaslu Republik Indonesia merilis terdapat adanya 721 kasus pelanggaran netralitas ASN.

Eskalasi ini menandakan bahwa ternyata akar persoalan netralitas ASN belum mendapatkan formulasi dan solusi konkret yang tepat.

Dalam Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pilkada 2020, ketidaknetralan ASN berada di peringkat teratas, yakni sejumlah 167 kabupaten/kota dari 270 daerah.

Hal ini tentunya menjadi isu strategis atas keberpihakan aparatur pemerintah dalam mendukung dan memfasilitasi peserta pilkada (Bawaslu RI, 2020).

Politisasi birokrasi telah menimbulkan banyak persoalan, tidak hanya berdampak pada kualitas proses dan hasil demokrasi, tetapi juga dapat menyalahgunakan anggaran pemerintah daerah.

Muncullah program yang seolah-olah digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, padahal ditunggangi kepentingan politik.

Larangan dan sanksi ASN

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2004 Tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil telah secara jelas menyebutkan nilai-nilai dasar yang harus dijunjung tinggi oleh pegawai negeri sipil.

Nilai-nilai dasar itu adalah ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kesetian dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, semangat nasionalisme, mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan, ketaatan terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan, penghormatan terhadap hak asasi manusia, tidak diskriminatif, profesionalisme, netralitas, dan bermoral tinggi dan semangat jiwa korps.

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menyatakan bahwa pegawai ASN terdiri atas PNS dan PPPK.

Lebih lanjut dalam Pasal 9 ayat (2) menyampaikan, Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.

Hal senada juga terdapat dalam UU Pilkada bahwa ASN dilarang untuk terlibat dalam kegiatan kampanye serta membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan dan merugikan salah satu pasangan calon.

Ada 9 (sembilan) etik ASN yang tercantum dalam SE Mendagri Nomor B/7l/M.SM.00.00/2017, yaitu PNS dilarang melakukan pendekatan terhadap partai politik, memasang spanduk/baliho yang mempromosikan serta mendeklarasikan dirinya atau orang lain sebagai bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah.

Selain itu, PNS juga dilarang menghadiri deklarasi bakal pasangan calon mengunggah, menanggapi (seperti like, komentar, dan sejenisnya) atau menyebarluaskan gambar/foto, visi misi, berfoto bersama maupun keterikatan lain dengan bakal pasangan calon melalui media online atau media sosial.

PNS dilarang melakukan foto bersama dengan bakal pasangan calon dengan mengikuti simbol tangan/gerakan yang digunakan sebagai bentuk keberpihakan serta menjadi narasumber dalam kegiatan partai politik.

Apabila terdapat ASN yang terbukti melanggar, maka akan dikenai sanksi hukuman disiplin ringan maupun berat.

Pencegahan

Netralitas birokrasi adalah sebuah keniscayaan. Bawaslu, Inspektorat, dan Sekretaris Daerah perlu melakukan upaya pencegahan untuk menimimalisasi pelanggaran ASN dalam tahapan pilkada.

Lakukan pengawasan ekstra ketat seperti di media sosial dan aktifitas ASN lain yang mengindikasi pada ketidaknetralan.

Bawaslu harus menindak segala bentuk pelanggaran yang telah terpenuhi syarat formil dan materil tanpa pandang bulu.

Harapannya, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dapat memberikan sanksi tegas kepada ASN yang terbukti melakukan aktifitas politik agar dapat membuat efek jera bagi ASN lainnya.

Akhir kata, kepada para ASN tetaplah mempertahankan profesionalisme, akuntabilitas, responsibilitas, akseptabilitas, serta integritas birokrasi untuk tidak terpengaruh pada kepentingan politik penguasa.

Utamakan pelayanan prima kepada publik dengan sebaik-baiknya. Biarkan suksesi kepemimpinan politik di masing-masing daerah berlangsung dengan sendirinya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Beragam Respons Kubu Prabowo-Gibran soal 'Amicus Curiae' Megawati dan Sejumlah Tokoh Lain

Beragam Respons Kubu Prabowo-Gibran soal "Amicus Curiae" Megawati dan Sejumlah Tokoh Lain

Nasional
Yusril Harap Formasi Kabinet Prabowo-Gibran Tak Hanya Pertimbangkan Kekuatan di DPR

Yusril Harap Formasi Kabinet Prabowo-Gibran Tak Hanya Pertimbangkan Kekuatan di DPR

Nasional
Eks Ajudan Ungkap Anggaran Kementan untuk Bayar Dokter Kecantikan Anak SYL

Eks Ajudan Ungkap Anggaran Kementan untuk Bayar Dokter Kecantikan Anak SYL

Nasional
Yusril Bilang KIM Belum Pernah Gelar Pertemuan Formal Bahas Kabinet Prabowo

Yusril Bilang KIM Belum Pernah Gelar Pertemuan Formal Bahas Kabinet Prabowo

Nasional
Yusril Nilai Tak Semua Partai Harus Ditarik ke Kabinet Prabowo Kelak

Yusril Nilai Tak Semua Partai Harus Ditarik ke Kabinet Prabowo Kelak

Nasional
Cara Urus Surat Pindah Domisili

Cara Urus Surat Pindah Domisili

Nasional
Tanggal 20 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 20 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
TKN Klaim 10.000 Pendukung Prabowo-Gibran Akan Ajukan Diri Jadi 'Amicus Curiae' di MK

TKN Klaim 10.000 Pendukung Prabowo-Gibran Akan Ajukan Diri Jadi "Amicus Curiae" di MK

Nasional
Tepis Tudingan Terima Bansos, 100.000 Pendukung Prabowo-Gibran Gelar Aksi di Depan MK Jumat

Tepis Tudingan Terima Bansos, 100.000 Pendukung Prabowo-Gibran Gelar Aksi di Depan MK Jumat

Nasional
Jaksa KPK Sentil Stafsus SYL Karena Ikut Urusi Ultah Nasdem

Jaksa KPK Sentil Stafsus SYL Karena Ikut Urusi Ultah Nasdem

Nasional
PAN Minta 'Amicus Curiae' Megawati Dihormati: Semua Paslon Ingin Putusan yang Adil

PAN Minta "Amicus Curiae" Megawati Dihormati: Semua Paslon Ingin Putusan yang Adil

Nasional
KPK Ultimatum.Pengusaha Sirajudin Machmud Hadiri Sidang Kasus Gereja Kingmi Mile 32

KPK Ultimatum.Pengusaha Sirajudin Machmud Hadiri Sidang Kasus Gereja Kingmi Mile 32

Nasional
KSAU Pimpin Sertijab 8 Pejabat Utama TNI AU, Kolonel Ardi Syahri Jadi Kadispenau

KSAU Pimpin Sertijab 8 Pejabat Utama TNI AU, Kolonel Ardi Syahri Jadi Kadispenau

Nasional
Pendukung Prabowo-Gibran Akan Gelar Aksi di MK Kamis dan Jumat Besok

Pendukung Prabowo-Gibran Akan Gelar Aksi di MK Kamis dan Jumat Besok

Nasional
Menteri PAN-RB Enggan Komentari Istrinya yang Diduga Diintimidasi Polisi

Menteri PAN-RB Enggan Komentari Istrinya yang Diduga Diintimidasi Polisi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com