MENJELANG pelaksanaan Pilkada 2020 yang akan digelar secara serentak di 270 daerah pada 23 September mendatang, isu netralitas aparatur sipil negara (ASN) kerap menjadi sorotan.
Geliat dan mobilisasi ASN seperti abring–abringan (berbondong-bondong) serta unggahan di media sosial tampak terlihat dalam memberikan dukungan kepada petahana yang akan kembali mencalonkan.
Tak hanya itu, beberapa ASN di sejumlah daerah juga ada yang memasang alat peraga sosialisasi dalam bentuk baligho serta spanduk dengan mempromosikan dirinya sebagai bakal calon kepala daerah.
Jika merujuk Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 16 Tahun 2020 tentang tahapan, program dan jadwal penyelenggaraan pilkada, pada pertengahan Juni, KPU akan membuka pendaftaran pasangan calon dari partai politik dan/atau gabungan partai politik.
Tahapan pencalonan ini dinilai menjadi salah satu titik rawan netralitas ASN. Tidak dapat dimungkiri bahwa beberapa kasus ketidaknetralan ASN dalam Pilkada terutama memasuki tahapan pencalonan dan kampanye selalu marak terjadi.
Pasalnya, ASN memiliki posisi yang cukup strategis untuk menjadi mesin politik pemenangan kandidat pasangan calon karena dapat mendulang suara (Gusman, 2017). Bahkan, kekuatan ASN dapat mengalahkan soliditas partai politik pengusung.
Keterlibatan ASN yang cukup kuat dalam memberikan dukungan kepada petahana, setidaknya dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, iming-iming naik jabatan atau naik promosi ketika nantinya terpilih.
Menurut Sri Hartini (2014), implikasi ketidaknetralan adalah penempatan jabatan karena kepentingan politik yang tidak berdasar kompetensi, namun lebih karena faktor mariage system bukan merit system. Kedua, posisi ASN yang cenderung dilematis.
Satu sisi dituntut untuk bekerja secara profesional. Sisi lain, posisi ASN sebagai bawahan tidak bisa melawan instruksi atasan.
Sebenarnya, isu menyangkut netralitas birokrasi ini telah ada sejak era Orde Baru, yang kita kenal dengan "monoloyalitas".
Kemenangan Golkar pada saat itu adalah karena peranan birokrasi negara yang memiliki kepanjangan otoritas hingga ke desa-desa untuk meraih kemenangan.
Di era reformasi saat ini, politisasi birokrasi pemerintahan masih terus berlangsung. Maka tak heran, apabila jumlah dugaan pelanggaran netralisas ASN dari pilkada ke pilkada meningkat signifikan.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Jawa Barat mencatat, tren pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara di pilkada serentak gelombang pertama menempati urutan ketiga.
Di pilkada serentak tahun 2017, tren pelanggaran netralitas ASN naik menjadi urutan pertama. Adapun pada pilkada serentak 2018, Bawaslu Republik Indonesia merilis terdapat adanya 721 kasus pelanggaran netralitas ASN.
Eskalasi ini menandakan bahwa ternyata akar persoalan netralitas ASN belum mendapatkan formulasi dan solusi konkret yang tepat.