Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Proses Perumusan Omnibus Law RUU Cipta Kerja Dianggap Menyimpang

Kompas.com - 04/03/2020, 18:53 WIB
Haryanti Puspa Sari,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur LBH Jakarta Arief Maulana menilai, proses perumusan Omnibus Law RUU Cipta Kerja menyimpang dari aturan pembentukan perundang-undangan.

Arief menjelaskan, proses penyusunan RUU sapu jagat ini menyimpang karena dilakukan dengan tertutup dan hanya melibatkan kelompok tertentu.

"Dan ini memang praktik pembentukan perundang-undangan yang menyimpang menurut saya," kata Arief dalam sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (4/3/2020).

Baca juga: Omnibus Law RUU Cipta Kerja Dinilai Langgar Hak Asasi Manusia

Sebab, jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Perundang-undangan (UU PPP) tidak ada aturan mengenai proses Omnibus Law dari sejumlah undang-undang.

"Saya kira metode revisi Omnibus Law pun bisa kita persoalkan, karena tidak ada dasar hukum yang kemudian memberikan legitimasi bagaimana proses itu bisa dilakukan," ujarnya.

Arief mengatakan, dalam UU PPP, pembentukan undang-undang harus mengamalkan prinsip keterbukaan dan partisipasi.

Baca juga: Mahasiswa Gelar Aksi di Depan Gedung DPR, Tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja

Selain itu, terdapat beberapa tahapan pembentukan undang-undang yaitu perencanaan, penyusunan, pembahasan sampai penetapan dan diundangkan.

Namun, menurut Arief, pemerintah sejak awal tidak mengikuti tahapan-tahapan tersebut.

"Dari dua tahap awal saja, masyarakat tidak dilibatkan," ucapnya.

Lebih lanjut, Arief mengatakan, RUU Cipta Kerja tidak hanya berdampak pada buruh, tetapi pada jenis pekerjaan lainnya seperti guru, dosen, nelayan dan lainnya.

Baca juga: Tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja, Buruh Minta Dukungan Tokoh Agama

Oleh karenanya, ia menilai RUU tersebut akan menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan sosial.

"Kalau RUU ini disahkan akan menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan sosial di Indonesia. Ketika saat ini berbagai elemen menolak ini memang sudah seharusnya, karena RUU ini bertentangan dengan prinsip demokrasi, konstitusi sebagai hukum kita dan menurunkan standar perlindungan HAM," pungkasnya.

Sebelumnya diberitakan, DPR telah menerima draf serta surat presiden (surpres) Omnibus Law Cipta Kerja.

Baca juga: Bakamla Masih Godok Omnibus Law Keamanan Laut

Draf dan surpres diserahkan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto kepada Ketua DPR Puan Maharani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

Puan menjelaskan RUU Cipta Kerja terdiri atas 79 undang-undang dengan 15 bab dan 174 pasal. Ia mengatakan pembahasan RUU Cipta Kerja akan melibatkan tujuh komisi di DPR.

Selanjutnya, draf dan surpres yang telah diserahkan akan melalui mekanisme DPR untuk kemudian ditetapkan dalam paripurna. Namun, hingga saat ini belum ada perkembangan lebih jauh mengenai proses draf RUU Cipta Kerja itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited  Capai Rp 17,43 Miliar

Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited Capai Rp 17,43 Miliar

Nasional
KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

Nasional
Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Nasional
Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Nasional
Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Nasional
Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Nasional
KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

Nasional
Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Nasional
Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Nasional
PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com