JAKARTA, KOMPAS.com - Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Parakansalak, Sukabumi, Jawa Barat, datang ke kantor Komnas HAM di Menteng, Jakarta Pusat, pada Senin (2/3/2020) pagi.
Mereka mengadukan tindakan intimidasi dari aparat pemerintah ketika hendak merenovasi Masjid Al Furqon, yang dikelola JAI Parakansalak sejak 1975.
Peristiwa itu terjadi pada pertengahan Februari lalu. Menurut pendamping hukum JAI Parakansalak, Fitria, Muspika hingga personel Polsek dan Koramil setempat datang ke lokasi masjid.
Menurut Fitria, mereka meminta kegiatan renovasi masjid dihentikan. Alasannya, kegiatan renovasi itu mengganggu ketertiban umum.
"Kedatangan aparat pemerintahan ini bertujuan untuk menyuruh menghentikan renovasi masjid dengan alasan menjaga kondusivitas. Akhirnya para pengurus sepakat untuk menghentikan renovasi sementara waktu sampai ada keputusan pasti," kata Fitria di kantor Komnas HAM.
Baca juga: Jemaah Ahmadiyah Parakansalak Laporkan Pelarangan Renovasi Masjid ke Komnas HAM
Mengapa Ahmadiyah menimbulkan kontroversi?
Ketua Pimpinan Daerah JAI Sukabumi Wawan Rustiawan menilai, intimidasi yang kerap diterima jemaah Ahmadiyah salah satunya akibat fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan Ahmadiyah menyimpang dari ajaran Islam.
Wawan pun menepis pandangan itu. Ia menegaskan Ahmadiyah memenuhi prasyarat-prasyarat utama sebagai umat Nabi Muhammad SAW.
"Ini kan akibat fatwa MUI pusat yang menyatakan Ahmadiyah sesat berdasarkan sembilan buku. Sampai sekarang Ahmadiyah tidak tahu buku apa," kata Wawan, saat ditemui di kantor Komnas HAM.
"Kalau soal akidah kan kami juga dasarnya Alquran, hadis, dan (sabda) Nabi Muhammad. Mereka kan juga tidak pernah tabayyun duduk bersama," lanjut dia.
Baca juga: Ahmadiyah Dilarang Renovasi Masjid, Komnas HAM Akan Kirim Surat ke Bupati Sukabumi
Dia mengatakan jemaah Ahmadiyah memenuhi rukun iman dan rukun Islam. Wawan membantah Tadhkirah atau Tazdhkirah sebagai kitab suci Ahmadiyah.
Wawan, sekali lagi, menyatakan keislaman Ahmadiyah berlandaskan pada Alquran dan sabda Nabi Muhammad SAW.
"Kami menjalankan rukun iman, rukun Islam... kami naik haji. Kitab suci kami Alquran. Kalau betul kitab suci Ahmadiyah itu Tazdhkirah, mengapa yang diterjemahkan ke 100 bahasa dunia itu Alquran? Sekarang sudah 70 bahasa. Kenapa kan enggak Tazdhkirah kalau memang itu kitab suci Ahmadiyah," tutur Wawan.
Baca juga: Terima Laporan Intimidasi, Komnas HAM akan Cek Masjid Jemaah Ahmadiyah
Selain itu, Wawan menyatakan ada perbedaan interpretasi terkait surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri soal keberadaan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). SKB tersebut dikeluarkan berdasarkan keputusan Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Isi SKB tersebut bukan membubarkan, melainkan memberikan peringatan dan perintah kepada Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya. Baik dalam bentuk menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum dan melakukan penafsiran tentang suatu agama.
Wawan mengatakan perihal SKB kerap dijadikan alat bagi aparat pemerintah setempat untuk melarang kegiatan perbaikan masjid yang dikelola Ahmadiyah, khususnya di Parakansalak.
"Pasti bawanya (SKB). Karena penerjemahan SKB di mereka masih tidak sesuai dari pemerintah. Kan tidak ada larangan ibadah, kan yang dilarang menyiarkan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Tapi yang bertentangan yang mana?" kata Wawan.
Negara lemah melindungi hak konstitusi warga
Bertalian dengan peristiwa tersebut, komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan, hak konstitusi warga negara dalam memeluk agama dan melaksanakan ibadah belum sepenuhnya terlindungi.
"Karena kejadian ini berulang, menunjukkan memang kelemahan negara dalam melindungi hak konstitusi warga," kata Beka.
Baca juga: Jemaah Ahmadiyah Lapor Kasus Intimidasi, Komnas HAM: Negara Lemah Melindungi Hak Warga
Menurut Beka, negara malah cenderung menghalangi hak warga negara dalam beragama dan beribadah. Padahal hak kebebasan beragama dan beribadah dijamin konsitusi.
Ia pun menyesalkan tindakan aparat pemerintah, dalam hal ini kepolisian dan militer, yang terlibat dalam peristiwa intimidasi terhadap JAI Parakansalak.
Beka mengatakan, seharusnya kepolisian dan militer menjadi pihak yang turut melindungi hak konsitusi warga negara.
"Saya menyesalkan perilaku, tindakan aparat yang gagal melindungi hak konstitusi warga itu. Jadi alih-alih melindungi atau menjamin keamanan, aparat keamanan lebih senang membubarkan atau meminta kelompok-kelompok minoritas itu diam," tutur Beka.
"Saya kira PR kira bersama supaya aparat keamanan memang sesuai tugasnya, yang pertama adalah menjaga konstitusi," imbuh Beka.
Baca juga: Cerita Siti soal Polisi Mengintimidasi Jemaah Ahmadiyah...
Selanjutnya, Komnas HAM akan mengirimkan surat ke Bupati Sukabumi dan Kapolres Sukabumi untuk meminta klarifikasi.
"Kami akan kirim surat permintaan klarifikasi ke bupati di-cc ke gubernur, dan ke kapolres di-cc ke kapolda," kata Beka.
Selain itu, ia menyatakan Komnas HAM juga bakal mengecek langsung ke lokasi kejadian.
Beka berharap Komnas HAM bisa bertemu dengan Camat, Komandan Koramil, atau Kapolsek setempat.
"Lalu kami akan ke lokasi untuk bertemu paling tidak dengan camat, Koramil, dan Polsek," ujar dia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.