JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Agama Republik Indonesia Fachrul Razi merasa prihatin atas peristiwa kekerasan yang terjadi di India.
Fachrul mengimbau, masyarakat di India tidak merusak nilai kemanusiaan atas nama agama.
"Tidak ada ajaran agama mana pun yang membenarkan tindakan kekerasan, apa pun motifnya. Memuliakan nilai kemanusiaan adalah esensi ajaran semua agama,” kata Fachrul dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Sabtu (29/2/2020).
Fachrul mengatakan, seluruh tokoh dan masyarakat di India dan Indonesia harus menahan diri dan tidak terpancing melakukan tindakan emosional.
Baca juga: Terkait Konflik di India, Komisi I Minta Kemenlu Pastikan Keamanan WNI
Ia juga mengimbau, masyarakat di India mengedepankan kehidupan yang rukun dan penuh toleransi antar-umat beragama.
"Saya berharap umat beragama di Indonesia bisa mengambil pelajaran dari peristiwa di India. Mari kita kedepankan kehidupan beragama yang damai, rukun, toleran, bersama dalam keragaman," ujarnya.
Sebanyak 23 orang dilaporkan tewas dalam kerusuhan di India. Kerusuhan ini terjadi karena pro-kontra masyarakat tentang UU Kewarganegaraan India.
UU ini dinilai merugikan umat Muslim karena memberi amnesti untuk imigran non-Muslim dari tiga negara tetangga yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam.
Baca juga: Bertemu Dubes India, Mahfud MD Bahas Persoalan Andaman
Kerusuhan merebak mulai Minggu (23/2/2020) dan sampai hingga Rabu (26/2/2020) telah menewaskan 23 orang, menurut laporan dari BBC.
India telah mengalami demonstrasi massa sejak pertengahan Desember 2019. Para demonstran menolak UU Kewarganegaraan anti-muslim atau yang lebih dikenal sebagai CAA (Citizenship Amendment Act).
Banyak aktivis dan politisi menilai isi CAA sangat bersifat berpecah belah, diskriminatif dan melanggar konstitusi sekuler negara.
Selain itu, pakar hukum menilai tindakan aparat India terhadap massa pengunjuk rasa anti UU kewarganegaraan (CAA) dipengaruhi oleh agitasi pada masa kolonial.
Baca juga: Soal Konflik di India, NU: Persekusi atas Nama Mayoritarianisme Tak Dibenarkan
Agitasi hukum pada masa kolonial yang dimaksud adalah salinan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Inggris pada 1870. Pasal 124 A tentang Hukum Pidana India.
Bagaimana India menggunakan hukum hasutan (agitasi) era kolonial melawan pengunjuk rasa CAA ternyata ditujukan untuk meredam perbedaan pendapat.
Aktivis HAM India menguatkan, seperti dilansir dari Aljazeera, dengan menyatakan bahwa hukum itu banyak digunakan untuk menekan perbedaan pendapat di India.
Umumnya perbedaan itu terjadi di kalangan marjinal dan minoritas. Tindakan kekerasan aparat melawan massa pengunjuk rasa anti-CAA telah mengkhawatirkan para aktivis HAM.
Sadaf Jafar, seorang aktivis politik perempuan ditahan dari Lucknow, ibu kota Uttar Pradesh (UP) selama melakukan unjuk rasa anti-CAA.
Dia ditangkap dan dipenjara selama 20 hari dan tidak diperbolehkan memberi informasi kepada siapapun.
"Kita semestinya berada di tahap demokrasi. Tapi pemerintahan kita malah menggunakan agitasi era kolonial untuk menekan bahkan perbedaan damai di kalangan masyarakat kita sendiri," ungkap Jafar.
Kepada media, Jafar mengaku disiksa dan dipanggil orang Pakistan karena nama muslimnya.
Dia dipukuli terus. Kedua lututnya bengkak membiru. Dia juga merasakan sakit di seluruh anggota badannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.