Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peristiwa Painai, Antara Ucapan Moeldoko dan Tantangan Pembuktian dari Komnas HAM

Kompas.com - 28/02/2020, 06:35 WIB
Sania Mashabi,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Peristiwa bentrok antara masyarakat dan aparat di Painai, Papua 7-8 Desember 2014 menjadi perhatian sejumlah pihak.

Terlebih setelah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan peristiwa itu sebagai kasus pelanggaran HAM berat pertama di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Keputusan itu diambil dalam Sidang Paripurna Khusus Komnas HAM pada 3 Februari 2020.

"Setelah melakukan pembahasan mendalam di sidang paripurna peristiwa Paniai pada 7– 8 Desember 2014, secara aklamasi kami putuskan sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan dalam keterangan tertulis, yang diterima Kompas.com, Sabtu (15/2/2020).

Berdasarkan data Komnas HAM, peristiwa itu mengakibatkan empat orang yang berusia 17-18 tahun meninggal dunia dengan luka tembak dan luka tusuk. Kemudian, 21 orang lainnya mengalami luka penganiayaan.

Baca juga: Komnas HAM Tetapkan Peristiwa Paniai Masuk Pelanggaran HAM Berat

Dari hasil penyelidikan, Komnas HAM juga berkesimpulan, anggota TNI yang bertugas di daerah Enarotali saat itu bertanggung jawab.

"Disimpulkan bahwa anggota TNI yang bertugas pada medio peristiwa tersebut, baik dalam struktur komando Kodam XVII/Cenderawasih sampai komando lapangan di Enarotali, Paniai diduga sebagai pelaku yang bertanggung jawab," kata Taufan.

Komnas HAM juga menemukan indikasiobstruction of justice atau tindakan merintangi penanganan perkara oleh Polda Papua.

Respons Moeldoko

Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko pun akhirnya angkat bicara mengenai peristiwa Painai.

Menurut dia, peristiwa itu terjadi karena aparat TNI dan Polri diserang terlebih dahulu oleh masyarakat setempat.

Lantaran diserang secara sporadis, menurut Moeldoko, pasukan TNI dan Polri di sana menjadi reaktif.

"Yang saya dapat laporan waktu itu ada kapolsek, koramil, dia mendapat serangan dari masyarakat sehingga bersifat reaktif dan dilihat saja dokumennya ada enggak perintah dari atasan untuk melakukan tindakan represif? Kan enggak ada," kata Moeldoko di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (26/2/2020).

Baca juga: Menurut Moeldoko, Masyarakat di Paniai Lebih Dulu Serang TNI dan Polri

Meski demikian, ia mengatakan, pemerintah tetap akan menindaklanjuti keputusan Komnas HAM yang menetapkan peristiwa Paniai sebagai pelanggaran HAM berat.

"Kejaksaan akan melihat rekomendasi seperti apa, tindak lanjut seperti apa langkah-langkahnya. Seperti biasalah, tindak lanjutnya tanya ke kejaksaan," ucap dia.

Tantangan dari Komnas HAM

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam kemudian merespons pernyataan Moeldoko itu.

Ia mempersilakan mantan Panglima TNI tersebut dan siapapun yang mengetahuinya untuk membuktikan pernyataannya dengan memberikan bukti-bukti ke penegak hukum.

Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, di Kantor Komnas HAM, Jl. Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (9/12/2019). KOMPAS.com/Dian Erika Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, di Kantor Komnas HAM, Jl. Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (9/12/2019).
"Sebenarnya siapapun (termasuk Moeldoko), silakan ke pengak hukum, memberikan kesaksian atau bukti," kata Anam pada Kompas.com, Kamis (27/2/2020).

Anam juga menyayangkan pernyataan Moeldoko tersebut. Sebab, hingga saat ini belum ada putusan hukum mengenai Peristiwa Paniai yang terjadi pada 2014.

Semestinya pernyataan Moeldoko itu baru diutarakan apabila sudah ada putusan pengadilan.

"Lebih bijak jika menunggu proses hukum sampai ada keputusan," ujar Choirul.

"Berbagai pihak yang punya informasi silakan menjadi saksi atau memberikan bukti terkait hal itu ke mekanisme hukum yang tersedia, baik ke penyidik atau di muka majelis hakim," lanjut dia.

Ia juga berharap kasus Painai yang sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Agung pada 11 Februari lalu bisa segera ditingkatkan pada tahap penyidikan.

Serta segera diputuskan dalam persidangan pelanggaran HAM.

"Kami berharap, kasus Paniai ini bisa segera naik ke penyidikan, penuntutan dan dituntaskan di pengadilan HAM," ujarnya.

Baca juga: Moeldoko Diminta Buktikan Ucapannya soal Paniai ke Penegak Hukum

Anam meminta semua pihak yang memiliki bukti terkait peristiwa Paniai dibawa ke pengadilan HAM. Serta bersama-sama mengawal proses pengadilan itu agar berjalan independen.

"Biarkan mekanisme law enforment berjalan dan menguji peristiwa tersebut secara hukum. Dan kita jaga prosesnya agar profesional dan independent," ucap Anam.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid membantah bahwa peristiwa Painai terjadi karena masyarakat setempat lebih dulu menyerang pasukan TNI dan Polri.

Baca juga: Bantah Moeldoko, Amnesty International: Kasus Paniai Dipicu Kekerasan Aparat

Sebaliknya, ia menegaskan bahwa peristiwa itu dipicu karena aparat keamanan melakukan kekerasan terhadap warga.

"Dalam penelitian Amnesty, pemicu awal bukan masyarakat Papua. Masyarakat itu marah di hari Senin, 8 Desember. Peristiwa awalnya terjadi pada hari Minggu 7 Desember," kata Usman saat dihubungi Kompas.com, Kamis (27/2/2020).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

Nasional
Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Nasional
Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Nasional
Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Nasional
Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Nasional
Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan 'Amicus Curiae' seperti Megawati

Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan "Amicus Curiae" seperti Megawati

Nasional
Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah 'Nyapres' Tidak Jadi Gubernur Jabar

Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah "Nyapres" Tidak Jadi Gubernur Jabar

Nasional
Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Nasional
Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Nasional
Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

Nasional
Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com