JAKARTA, KOMPAS.com - Peristiwa bentrok antara masyarakat dan aparat di Painai, Papua 7-8 Desember 2014 menjadi perhatian sejumlah pihak.
Terlebih setelah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan peristiwa itu sebagai kasus pelanggaran HAM berat pertama di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Keputusan itu diambil dalam Sidang Paripurna Khusus Komnas HAM pada 3 Februari 2020.
"Setelah melakukan pembahasan mendalam di sidang paripurna peristiwa Paniai pada 7– 8 Desember 2014, secara aklamasi kami putuskan sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan dalam keterangan tertulis, yang diterima Kompas.com, Sabtu (15/2/2020).
Berdasarkan data Komnas HAM, peristiwa itu mengakibatkan empat orang yang berusia 17-18 tahun meninggal dunia dengan luka tembak dan luka tusuk. Kemudian, 21 orang lainnya mengalami luka penganiayaan.
Baca juga: Komnas HAM Tetapkan Peristiwa Paniai Masuk Pelanggaran HAM Berat
Dari hasil penyelidikan, Komnas HAM juga berkesimpulan, anggota TNI yang bertugas di daerah Enarotali saat itu bertanggung jawab.
"Disimpulkan bahwa anggota TNI yang bertugas pada medio peristiwa tersebut, baik dalam struktur komando Kodam XVII/Cenderawasih sampai komando lapangan di Enarotali, Paniai diduga sebagai pelaku yang bertanggung jawab," kata Taufan.
Komnas HAM juga menemukan indikasiobstruction of justice atau tindakan merintangi penanganan perkara oleh Polda Papua.
Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko pun akhirnya angkat bicara mengenai peristiwa Painai.
Menurut dia, peristiwa itu terjadi karena aparat TNI dan Polri diserang terlebih dahulu oleh masyarakat setempat.
Lantaran diserang secara sporadis, menurut Moeldoko, pasukan TNI dan Polri di sana menjadi reaktif.
"Yang saya dapat laporan waktu itu ada kapolsek, koramil, dia mendapat serangan dari masyarakat sehingga bersifat reaktif dan dilihat saja dokumennya ada enggak perintah dari atasan untuk melakukan tindakan represif? Kan enggak ada," kata Moeldoko di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (26/2/2020).
Baca juga: Menurut Moeldoko, Masyarakat di Paniai Lebih Dulu Serang TNI dan Polri
Meski demikian, ia mengatakan, pemerintah tetap akan menindaklanjuti keputusan Komnas HAM yang menetapkan peristiwa Paniai sebagai pelanggaran HAM berat.
"Kejaksaan akan melihat rekomendasi seperti apa, tindak lanjut seperti apa langkah-langkahnya. Seperti biasalah, tindak lanjutnya tanya ke kejaksaan," ucap dia.
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam kemudian merespons pernyataan Moeldoko itu.
Ia mempersilakan mantan Panglima TNI tersebut dan siapapun yang mengetahuinya untuk membuktikan pernyataannya dengan memberikan bukti-bukti ke penegak hukum.
Anam juga menyayangkan pernyataan Moeldoko tersebut. Sebab, hingga saat ini belum ada putusan hukum mengenai Peristiwa Paniai yang terjadi pada 2014.
Semestinya pernyataan Moeldoko itu baru diutarakan apabila sudah ada putusan pengadilan.
"Lebih bijak jika menunggu proses hukum sampai ada keputusan," ujar Choirul.
"Berbagai pihak yang punya informasi silakan menjadi saksi atau memberikan bukti terkait hal itu ke mekanisme hukum yang tersedia, baik ke penyidik atau di muka majelis hakim," lanjut dia.
Ia juga berharap kasus Painai yang sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Agung pada 11 Februari lalu bisa segera ditingkatkan pada tahap penyidikan.
Serta segera diputuskan dalam persidangan pelanggaran HAM.
"Kami berharap, kasus Paniai ini bisa segera naik ke penyidikan, penuntutan dan dituntaskan di pengadilan HAM," ujarnya.
Baca juga: Moeldoko Diminta Buktikan Ucapannya soal Paniai ke Penegak Hukum
Anam meminta semua pihak yang memiliki bukti terkait peristiwa Paniai dibawa ke pengadilan HAM. Serta bersama-sama mengawal proses pengadilan itu agar berjalan independen.
"Biarkan mekanisme law enforment berjalan dan menguji peristiwa tersebut secara hukum. Dan kita jaga prosesnya agar profesional dan independent," ucap Anam.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid membantah bahwa peristiwa Painai terjadi karena masyarakat setempat lebih dulu menyerang pasukan TNI dan Polri.
Baca juga: Bantah Moeldoko, Amnesty International: Kasus Paniai Dipicu Kekerasan Aparat
Sebaliknya, ia menegaskan bahwa peristiwa itu dipicu karena aparat keamanan melakukan kekerasan terhadap warga.
"Dalam penelitian Amnesty, pemicu awal bukan masyarakat Papua. Masyarakat itu marah di hari Senin, 8 Desember. Peristiwa awalnya terjadi pada hari Minggu 7 Desember," kata Usman saat dihubungi Kompas.com, Kamis (27/2/2020).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.