JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, DPR dan pemerintah harus cermat dalam menentukan model keserentakan pemilu.
Hal ini untuk menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perihal keserentakan pilpres dan pileg.
"Putusan MK meletakkan fondasi penting untuk sistem penyelenggaraan pemilu ke depan. Sehingga, perdebatan apakah pemilu serentak perlu diubah lagi atau tidak, dapat dialihkan kepada perdebatan yang jauh lebih penting," ujar Titi dalam diskusi di Bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (27/2/2020).
Baca juga: KPU Pertimbangkan Pembagian Pemilu yang Ideal, Nasional dan Lokal
"Yakni model pemilu serentak mana yang lebih memberikan penguatan terhadap kedaulatan rakyat, sistem presidensiil, dan integritas demokrasi Indonesia ke depan. Sehingga pemerintah dan DPR harus cermat dalam menentukan model keserentakan itu, " lanjut dia.
Titi menyarankan DPR dan pemerintah segera membuka kanal partisipasi masyarakat, dan seluruh kelompok kepentingan seluas-luasnya dalam memberi masukan soal model keserentakan pemilu.
"Untuk memberikan masukan, melakukan simulasi, dan menghitung segala kemungkinan dengan cermat dan hati-hati, sebelum menentukan pilihan model pemilu serentak mana yang akan dipilih untuk pelaksanaan pemilu di Indonesia kedepan," tegas Titi.
Baca juga: MK Putuskan Pilpres Digelar Serentak dengan Pemilihan DPR dan DPD
Putusan MK yang dibacakan pada Rabu (26/2/2020) itu, kata Titi, bermakna pemilu yang konstitusional di Indonesia adalah pemilu yang dilaksanakan secara serentak antara pemilihan eksekutif dengan pemilihan legislatif.
Konsepsi keserentakkan yang diperintahkan oleh MK untuk dipastikan adalah pemilihan Presiden, DPR, dan DPD mesti dilaksanakan secara serentak.
"Jadi pilpres dan pemilihan anggota parlemen di pusat harus serentak dan tidak boleh dipisahkan," tegas Titi.
Baca juga: MK Sarankan 6 Model Pelaksanaan Pemilu Serentak
Sebelumnya diberitakan, majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyebutkan bahwa keserentakan pemilihan umum yang diatur di Undang-undang Pemilu dan UU Pilkada dimaknai sebagai pemilihan umum untuk memilih anggota perwakilan rakyat di tingkat pusat, yaitu presiden dan wakil presiden, DPR, serta DPD.
Artinya, ketiga pemilihan wakil rakyat itu tak bisa dipisahkan satu sama lain.
Hal itu disampaikan majelis hakim saat sidang putusan uji materi tentang keserentakan pemilu yang diatur dalam Pasal 167 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pasal 201 ayat (7) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang dimohonkan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
"Pelaksanaan pemilihan umum yang konstitusional adalah tidak lagi dengan memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum anggota legislatif dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden," kata Hakim Saldi Isra saat membacakan putusan dalam persidangan yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (26/2/2020).
Baca juga: Gugatannya Ditolak MK, Perludem: Sesungguhnya 90 Persen Dikabulkan
Majelis hakim MK menegaskan bahwa penggabungan penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden, DPR, serta DPD bertujuan untuk menguatkan sistem presidensiil di pemerintahan Indonesia.
"Keserentakan pemilihan umum untuk pemilihan anggota lembaga perwakilan rakyat di tingkat pusat dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden merupakan konsekuensi logis dan upaya penguatan sistem pemerintahan presidensiil," ujar Saldi.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.