JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis hakim Mahkamah Konstitusi ( MK) menilai bahwa mekanisme atau model pelaksanaan pemilu serentak hanya dapat ditentukan melalui pembentuk undang-undang.
Meski begitu, MK meminta supaya model pelaksanaan pemilu tidak terus menerus diubah.
Hal itu disampaikan majelis hakim MK saat sidang putusan uji materi tentang keserentakan pemilu yang diatur dalam Pasal 167 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pasal 201 Ayat (7) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang dimohonkan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
"Tidak acap kali mengubah model pemilihan langsung yang diselenggarakan serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksaan pemilu," kata Hakim Saldi Isra saat membacakan putusan dalam persidangan yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (26/2/2020).
Baca juga: Putusan MK Mungkinkan Pemilu Digelar dengan 5 Kotak Suara Lagi
Majelis hakim MK sebelumnya menyarankan enam alternatif model pemilu serentak.
Dari keenam model itu, semuanya menggabungkan pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR, serta DPD.
Gabungan ketiga pemilu itulah yang menurut MK konstitusional lantaran dinilai menguatkan sistem presidensial.
"Keserentakan pemilihan umum untuk pemilihan anggota lembaga perwakilan rakyat di tingkat pusat dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden merupakan konsekuensi logis dan upaya penguatan sistim pemerintahan presidensiil," ujar Saldi.
Menurut Saldi, MK hanya sebatas menyarankan model pemilu serentak membuat penegasan mengenai makna keserentakan yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu dan UU Pilkada.
Baca juga: MK Tolak Permohonan Uji Materi UU Pilkada soal Keserentakan Pemilu
Untuk menentukan model yang diterapkan, menurut MK, sepenuhnya menjadi kewenangan pembuat undang-undang.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan