Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Firli Sebut KPK Akan Buka 51 Penyelidikan Baru

Kompas.com - 24/02/2020, 19:50 WIB
Haryanti Puspa Sari,
Icha Rastika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri meminta publik tak hanya fokus pada sikap KPK yang menghentikan penyeledikan 36 kasus dugaan korupsi.

Sebab, kata Firli, KPK sudah menerbitkan 51 surat perintah penyelidikan baru.

"Kita sudah menerbitkan ada 51 surat perintah penyelidikan baru. Jadi jangan lihat yang hentinya saja, ada 51 yang kita buka untuk melakukan penyelidikan," kata Firli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (24/2/2020).

Baca juga: KPK Dikritik Hentikan Penyelidikan 36 Kasus, Firli: Lebih Baik Terbuka daripada Sembunyi

Sementara itu, Firli mengatakan, untuk penyidikan, KPK sudah menerbitkan 21 surat. Menurut dia, berdasarkan jumlah tersebut 26 orang sudah ditetapkan sebagai tersangka.
 
"Penyidikannya sudah 21 surat penyidikan yang kita terbitkan. Ada 18 orang tersangka yang sudah kita tahan, ada 26 orang yang ditetapkan tersangka," ujar dia. 

Kendati demikian, Firli tak menyebutkan secara detail surat penyelidikan dan penyidikan untuk kasus apa yang diterbitkan KPK.

Ia mengatakan, KPK terbuka soal penerbitan surat perintah, kecuali pada kasus tertentu.

"Semuanya kita buka, engga ada, kecuali yang kita rahasiakan. Cukup ya," ucap dia. 

Sebelumnya diberitakan, KPK ramai dikritik karena menghentikan penyelidikan 36 kasus dugaan korupsi, baik dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dan DPR.

Koordinator ICW Adnan Topan Husodo menilai, langkah Komisi Pemberantasan Korupsi mengumumkan penghentian 36 perkara di tahap penyelidikan menjadi blunder bagi KPK.

"Maksudnya kan supaya (KPK) terbuka ya niatnya, tetapi menjadi blunder karena memang penuh ketidakpastian, begitu," kata Adnan dalam diskusi bertajuk "Dear KPK, Kok Main Hapus Kasus" di Upnormal Coffee Roasters, Jakarta, Minggu (23/2/2020).

Baca juga: Tingkat Kepuasan Publik ke KPK Nomor 4, Pimpinan: Baru 2 Bulan, Sangat Prematur

Sebab, menurut dia, penyelidikan merupakan proses yang rahasia dan penuh ketidakpastian. 

Penyelidikan harus dipastikan apakah dilanjutkan ke tahap penyidikan atau dihentikan.

Penghentian penyelidikan, menurut Adnan, merupakan proses yang normal dilakukan lembaga penegak hukum jika tidak ditemukan bukti permulaan yang cukup.

"Karena itu ini menjadi sebuah kebijakan atau keputusan yang wajar, menjadi masalah ketika keputusan itu diumumkan, disampaikan ke masyarakat. Karena dari sesuatu yang tidak pasti disampaikan ke masyarakat, akhirnya banyak tuntutan lebih," ujar Adnan.

"Kan disebutkan ada terkait kepala daerah, aparat penegak hukum dan sebagainya. Nah terus publik puas enggak? Enggak, dikejar lagi, misalnya siapa kepala daerahnya, siapa anggota DPR-nya. Padahal, itu kan basisnya ketidakpastian," kata dia.

Ia juga mengingatkan, ini akan kembali menjadi masalah jika di kemudian hari KPK tak lagi mengumumkan penghentian penyelidikan. 

Sebab, masyarakat akan bertanya-tanya nantinya mengapa KPK tak lagi mengumumkan ke publik jika ada penyelidikan yang kembali dihentikan. 

Dengan demikian, kata dia, KPK lebih baik memperkuat akuntabilitas internalnya menyangkut penghentian penyelidikan dugaan korupsi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Nasional
Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Nasional
Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Nasional
BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

Nasional
Terungkap di Sidang, Biaya Ultah Cucu SYL Di-“reimburse” ke Kementan

Terungkap di Sidang, Biaya Ultah Cucu SYL Di-“reimburse” ke Kementan

Nasional
Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

Nasional
Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama seperti Anies Kemarin

Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama seperti Anies Kemarin

Nasional
Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

Nasional
Surya Paloh Bakal Bertemu Prabowo Sore Ini, Nasdem Belum Ambil Keputusan

Surya Paloh Bakal Bertemu Prabowo Sore Ini, Nasdem Belum Ambil Keputusan

Nasional
Jalankan Amanah Donatur, Dompet Dhuafa Berbagi Parsel Ramadhan untuk Warga Palestina

Jalankan Amanah Donatur, Dompet Dhuafa Berbagi Parsel Ramadhan untuk Warga Palestina

Nasional
Wapres Sebut Target Penurunan 'Stunting' Akan Dievaluasi

Wapres Sebut Target Penurunan "Stunting" Akan Dievaluasi

Nasional
Persilakan Golkar Tampung Jokowi dan Gibran, PDI-P: Kami Bukan Partai Elektoral

Persilakan Golkar Tampung Jokowi dan Gibran, PDI-P: Kami Bukan Partai Elektoral

Nasional
Dana Pensiun Bukit Asam Targetkan 4 Langkah Penyehatan dan Penguatan pada 2024

Dana Pensiun Bukit Asam Targetkan 4 Langkah Penyehatan dan Penguatan pada 2024

Nasional
Di Depan Wiranto-Hendropriyono, Prabowo Minta Maaf Pernah Nakal: Bikin Repot Senior...

Di Depan Wiranto-Hendropriyono, Prabowo Minta Maaf Pernah Nakal: Bikin Repot Senior...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com