JAKARTA,KOMPAS.com - Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Alamsyah Saragih mengatakan, keberadaan Pasal 170 dalam draf omnibus law RUU Cipta Kerja sangat berbahaya bagi negara.
Dia menilai pasal ini bisa menghancurkan tatanan konstitusi.
"Ini bahaya lho. Sebab (merujuk pasal 170) yang mau dihancurkan adalah konstitusi. Sangat bahaya, " ujar Alamsyah usai mengisi diskusi di bilangan Senayan, Jakarta, Sabtu (22/2/2020).
Dia melanjutkan, keinginan untuk menghancurkan konstitusi dengan cara-cara yang tidak sah semacam itu merupakan niat yang sangat buruk.
Sehingga, selain perlu koreksi pada pasalnya, Ombudsman menyarankan pemerintah untuk mengevaluasi para ahli yang terlibat penyusunan draf RUU itu.
Baca juga: Pakar: Omnibus Law Cipta Kerja Punya Semangat Sentralisasi Pemerintahan yang Sangat Kuat
"Kalau bisa nanti jangan dilibatkan lagi dalam proses penyusunan yang lain (aturan lain)," tegasnya.
Perlu diketahui, Pasal 170 dalam draf omnibus law RUU Cipta Kerja menjadi pembicaraan publik lantaran secara terstruktur menyatakan bahwa pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk mengubah Undang-Undang melalui peraturan pemerintah (PP).
Baca juga: Gaduh Pasal 170 dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja, Benarkah Salah Ketik?
Pasal 170 Ayat 1 dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja berbunyi:
"Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini."
Kemudian, pada Pasal 170 Ayat 2 disebutkan bahwa perubahan ketentuan diatur dengan peraturan pemerintah.
Baca juga: Soroti Omnibus Law RUU Cipta Kerja, Walhi: Kedudukan Korporasi Bisa seperti VOC
Sementara itu, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan sudah ditetapkan hierarki aturan perundangan berdasarkan sistem konstitusi.
Secara berurutan, tingkatannya yakni UUD 1945, Ketetapan MPR (TAP-MPR), UU/Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu), Peraturan Menteri (Permen) lalu Peraturan Presiden (Perpres).
Sehingga, menurut dia, PP tidak bisa mengubah aturan dalam Undang-Undang.
Sebab, Undang-Undang merupakan peraturan mendasar yang mengandung pidana hanya boleh diatur jika ada kuasa wakil rakyat di situ (DPR).
"Sementara, saat ini diatur pada pasal 170 adalah UU manapun yang nanti ternyata butuh pengaturan lebih lanjut dan belum diatur dalam RUU Cipta Kerja bisa diatur oleh pemerintah lewat PP," kata Bivitri dalam diskusi di bilangan Senayan, Jakarta, Sabtu (22/2/2020).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.