Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar: Omnibus Law Cipta Kerja Punya Semangat Sentralisasi Pemerintahan yang Sangat Kuat

Kompas.com - 22/02/2020, 11:29 WIB
Dian Erika Nugraheny,
Irfan Maullana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan, draf Omnibus Law Cipta Kerja memiliki semangat sentralisasi pengaturan pemerintahan kepada presiden.

Semangat tersebut tampak sangat kuat jika merujuk Pasal 170 dalam draf RUU tersebut.

"Kalau kita bicara draf RUU Cipta Kerja, yang sedang terjadi adalah aturan ini sangat diarahkan untuk menarik kekuasaan ke pusat (sentralisasi kekuasaan)," ujar Bivitri dalam diskusi bertajuk "Kenapa Galau Omnibus Law" di kawasan Selatan, Jakarta, Sabtu (22/2/2020).

Dia melanjutkan, dari segi manajemen pemerintah pusat pun, kekuasaan tampak diarahkan untuk ditarik ke tangan presiden.

Baca juga: Omnibus Law Pangkas Batas Minimal Kepemilikan Pesawat Maskapai, Ini Kata Menhub

"Contohnya seperti apa? Pasal tersebut 170, yang merupakan contoh sangat konkret dari sentralisasi ini, " ungkap Bivitri.

Dia menjelaskan Pasal 170 memuat aturan jika ada hal-hal yang belum dijangkau oleh RUU Cipta Kerja maka bisa diatur selanjutnya oleh Peraturan Pemerintah (PP).

Padahal, kata Bivitri, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, urutan tata aturan perundangan adalah UUD 1945, Ketetapan MPR (TAP-MPR), Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), Peraturan Menteri (Permen) lalu Peraturan Presiden (Perpres).

"Nah seharusnya yang namanya Undang-Undang tidak boleh diatur materi muatannya dalam PP. Mengapa? karena logika demokrasi perwakilannya," tutur Bivitri.

Baca juga: BI: Omnibus Law RUU Cipta Kerja Positif untuk Dorong Ekonomi Indonesia

Sebab, Undang-Undang yang merupakan peraturan mendasar yang mengandung pidana hanya boleh diatur jika ada kuasa wakil rakyat di situ (DPR).

"Sementara itu yang saat ini diatur pada Pasal 170 adalah UU manapun yang nanti ternyata butuh pengaturan lebih lanjut dan belum diatur dalam RUU Cipta Kerja bisa diatur oleh pemerintah lewat PP," ucap Bivitri.

Lebih lanjut dia menyoroti adanya norma standar prosedur dan kriteria (NSPK) yang di dalam draf RUU Cipta Kerja ditarik kepada presiden.

Menurut Bivitri, NSPK sejak dulu sudah ada. Fungsinya untuk menjadi rujukan pemerintah daerah dalam menjalankan kebijakan pemerintah pusat

"Nah sekarang NSPK ini ditarik ke Presiden. Jadi konsepsi yang dikenalkan ini semua kekuasan ditarik ke Presiden dan nanti baru didelegasikan ke kepada menteri-menteri maupun daerah. Ini yang sebenarnya pertanda sentralisasi di situ," tambah Bivitri.

Diberitakan, DPR telah menerima draf serta surat presiden (surpres) Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Baca juga: RUU Omnibus Law Cipta Kerja Dinilai Bakal Turunkan Pendapatan Daerah

Draf dan surpres diserahkan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto kepada Ketua DPR Puan Maharani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (12/2/2020).

"Dalam kesempatan ini Pak Menko dan para menteri menyampaikan bahwa omnibus law Cipta Kerja akan terdiri dari 79 UU, 15 bab, dengan 174 pasal yang akan dibahas di DPR," kata Puan dalam konferensi pers.

Puan menjelaskan RUU Cipta Kerja terdiri atas 79 Undang-Undang dengan 15 bab dan 174 pasal. Ia mengatakan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja akan melibatkan tujuh komisi di DPR.

Selanjutnya, draf dan surpres yang telah diserahkan akan melalui mekanisme DPR untuk kemudian ditetapkan dalam paripurna.

"Akan melibatkan kurang lebih tujuh komisi dan nantinya akan dijalankan melalui mekanisme yang ada di DPR. Apakah itu melalui Baleg atau Pansus karena melibatkan tujuh komisi terkait untuk membahas 11 kluster yang terdiri dari 15 bab dan 174 pasal," jelasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

FPI, PA 212, dan GNPF Ulama Dukung Hakim MK Bikin Putusan yang Seadil-adilnya

FPI, PA 212, dan GNPF Ulama Dukung Hakim MK Bikin Putusan yang Seadil-adilnya

Nasional
Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

Nasional
Jaga Independensi, MK Sembunyikan Karangan Bunga yang Sindir Sengketa Pilpres 2024

Jaga Independensi, MK Sembunyikan Karangan Bunga yang Sindir Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Busyro Muqqodas Harap Putusan MK Soal Sengketa Pilpres Berpihak pada Etika Kenegaraan

Busyro Muqqodas Harap Putusan MK Soal Sengketa Pilpres Berpihak pada Etika Kenegaraan

Nasional
Kemenlu: Indonesia Sesalkan DK PBB Gagal Sahkan Resolusi Keanggotaan Penuh Palestina

Kemenlu: Indonesia Sesalkan DK PBB Gagal Sahkan Resolusi Keanggotaan Penuh Palestina

Nasional
Yusril Prediksi MK Tak Diskualifikasi Gibran

Yusril Prediksi MK Tak Diskualifikasi Gibran

Nasional
Soal Besaran Tunjangan ASN yang Pindah ke IKN, Pemerintah Tunggu Jokowi

Soal Besaran Tunjangan ASN yang Pindah ke IKN, Pemerintah Tunggu Jokowi

Nasional
MK Bantah Ada Bocoran Putusan Sengketa Pilpres

MK Bantah Ada Bocoran Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
Marinir Indonesia-AS Akan Kembali Gelar Latma Platoon Exchange Usai 5 Tahun Vakum

Marinir Indonesia-AS Akan Kembali Gelar Latma Platoon Exchange Usai 5 Tahun Vakum

Nasional
Ingin Pileg 2029 Tertutup, Kaesang: Supaya “Amplop”-nya Enggak Kencang

Ingin Pileg 2029 Tertutup, Kaesang: Supaya “Amplop”-nya Enggak Kencang

Nasional
PSI Akan Usung Kader Jadi Cawagub Jakarta dan Wali Kota Solo

PSI Akan Usung Kader Jadi Cawagub Jakarta dan Wali Kota Solo

Nasional
Soal Sengketa Pilpres, Pengamat Nilai MK Tak Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran

Soal Sengketa Pilpres, Pengamat Nilai MK Tak Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran

Nasional
Profil Marsda Arif Widianto, Pati AU yang Kini Jabat Dansesko TNI

Profil Marsda Arif Widianto, Pati AU yang Kini Jabat Dansesko TNI

Nasional
Sudirman Said Sebut Pertemuan JK dan Megawati Kemungkinan Terjadi Setelah Putusan MK

Sudirman Said Sebut Pertemuan JK dan Megawati Kemungkinan Terjadi Setelah Putusan MK

Nasional
Kaesang Ingin Pileg 2029 Proporsional Tertutup: Pilih Partai, Bukan Caleg

Kaesang Ingin Pileg 2029 Proporsional Tertutup: Pilih Partai, Bukan Caleg

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com